HIKMAH: Fenomena Selingkuh di Era Medsos

ilustrasi selingkuh (NET)

Kasus perselingkuhan kembali menjadi panggung besar di jagat media sosial. Ada suami yang tertangkap istri, ada istri yang digerebek suami, ada pula cuplikan keributan yang direkam tetangga lalu beredar seperti angin. Kita menyaksikan semuanya dengan terlalu mudah, terlalu cepat, bahkan sering tanpa empati.

Namun di balik layar-layar kecil itu, ada satu hal yang nyaris tak berubah:
pengkhianatan selalu meninggalkan luka paling sunyi dalam sebuah pernikahan.

 

Selingkuh: Mengkhianati Akad dan Meruntuhkan Martabat

Dalam Islam, pernikahan bukan hanya kesepakatan dua manusia, tetapi amanah yang diikat dengan nama Allah. Ketika salah satu pasangan mengkhianati janji itu—dengan hubungan fisik, percakapan mesra, hubungan emosional tersembunyi, atau sekadar membiarkan hatinya tertuju pada yang bukan pasangan—maka sejatinya ia telah meruntuhkan sebuah kehormatan.

Rasulullah SAW mengingatkan bahwa setiap pengkhianat akan ditandai pada hari kiamat. Pengkhianatan bukan sekadar tindakan, tetapi jejak moral yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

 

Jika Perselingkuhan Menjalar Menjadi Zina

Syariat Islam tegas dalam urusan zina. Bukan karena agama keras, tetapi karena efek sosial dan spiritualnya sangat besar: rusaknya keturunan, pecahnya rumah tangga, hingga hilangnya rasa aman dalam masyarakat.

Mereka yang sudah menikah dan tergelincir dalam zina, dalam hukum hudud, dikenai rajam. Sedangkan yang belum menikah dicambuk seratus kali dan diasingkan. Ini bukan sekadar hukuman, tetapi peringatan bahwa diri manusia harus dijaga sejak pikiran hingga langkah kaki.

Adapun bentuk-bentuk mendekati zina—pandangan yang sengaja dinikmati, pesan yang menggoda, sentuhan yang tidak pantas, hingga khayalan yang dibiarkan liar—semua itu diharamkan dan dikenai ta’zir. Karena dosa besar selalu berawal dari celah kecil yang dibiarkan terbuka.

 

Fenomena Viral: Ketika Aib Dijadikan Konten

Ada yang lebih menyedihkan dari perselingkuhan itu sendiri, yakni ketika aib rumah tangga dipertontonkan seperti drama. Seolah-olah kelamnya satu keluarga menjadi hak publik untuk disimak, dihakimi, bahkan dijadikan bahan hiburan.

Padahal, Nabi SAW memberi pesan yang sangat lembut namun tegas:
Barang siapa menutup aib saudaranya, Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.

Dalam tradisi Islam, aib bukan untuk disebarkan, tetapi untuk diselesaikan dalam ruang privat, dengan kehormatan, dan dengan hati yang mencari perbaikan. Menyebarkan aib hanya menggandakan dosa dan memantik fitnah yang lebih besar.

 

Media Sosial: Godaan Baru yang Membuka Ruang Lama

Hari ini, perselingkuhan kadang tidak dimulai dari hotel atau perjalanan jauh. Ia mulai dari emoji, balasan story, pesan tengah malam, atau percakapan yang “katanya” tidak berbahaya. Padahal banyak rumah tangga runtuh bukan oleh perselingkuhan besar, melainkan oleh keakraban kecil yang dibiarkan tumbuh tanpa kendali.

Media sosial memberikan ruang baru, tetapi syahwat manusia tetap sama. Karena itulah Islam mengingatkan: Jangan mendekati zina. Allah tidak mengatakan “jangan berzina”, tetapi “jangan mendekati”. Kalimat itu cukup untuk membuat hati yang beriman berhenti sejenak sebelum melangkah.

 

Penutup: Menjaga Janji, Menjaga Diri

Di tengah derasnya arus konten viral, kita perlu kembali mengingat hakikat pernikahan: ia adalah janji, bukan sekadar status. Selingkuh merusak janji itu, dan setiap janji yang rusak akan membawa luka panjang bagi banyak pihak—pasangan, anak, keluarga, bahkan masa depan sendiri.

Perselingkuhan bukan tren, dan tidak akan pernah menjadi hiburan. Ia adalah tanda bahwa ada hati yang lupa jalan pulang.

Semoga Allah menjaga rumah tangga kita dari pengkhianatan, dari celah-celah keburukan, dan dari godaan yang datang lewat layar kecil yang kita genggam setiap hari. Semoga kita termasuk hamba yang menjaga diri, menjaga pandangan, dan menjaga kehormatan.