Lupakan Stigma, Ini Arti Sesungguhnya Kata ‘Ewe’ di Masyarakat Sunda

Satu Kata Ini Ada di Semua Bahasa di Dunia, Punya Makna yang Sama (©Triff/Shutterstock.com)

BANDUNG, TINTAHIJAU.com Kata ewe dalam bahasa Sunda selama ini kerap disalahartikan dan bahkan dianggap tabu. Di sebagian masyarakat, kata ini diasosiasikan dengan hal-hal yang berkonotasi cabul atau tidak senonoh. Padahal, makna asli kata ewe jauh dari anggapan tersebut. Dalam konteks budaya dan bahasa daerah tertentu seperti Indramayu dan suku Baduy di Banten, kata ewe justru memiliki arti yang sangat berbeda.

Di Kecamatan Lelea, Indramayu, misalnya, kata ewe lazim digunakan sebagai sebutan bagi seorang istri. Hal ini diungkapkan Anggi Suprayogi (27), warga Tamansari, Lelea, yang pernah membuat warga Bandung bingung karena penggunaan kata tersebut dalam percakapan sehari-harinya.

“Kuwu di sini kan istrinya orang Bandung. Nah orang sini ada yang ngobrol sama orang Bandung dan berkata ‘ewe inya di ewe aing’ (istrimu bersama istriku). Orang Bandungnya kebingungan,” tutur Anggi, menjelaskan kesalahpahaman yang muncul akibat perbedaan makna kata ewe di masing-masing daerah.

Senada dengan itu, Kepala Desa Lelea, Raidi, turut membenarkan bahwa dalam tradisi setempat, kata ewe memang digunakan untuk menyebut istri. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa istilah untuk perempuan dalam budaya mereka biasanya menggunakan kata wewe, dengan penambahan kata lain yang menunjukkan jenjang usia. Misalnya, wewe kolot (perempuan tua), wewe ngora (perempuan muda), dan wewe leutik (perempuan kecil).

Kata ‘Ewe’ di Suku Baduy

Fenomena serupa juga ditemukan di masyarakat adat Baduy di Banten. Di sana, kata ewe digunakan untuk menyebut perempuan yang telah menikah, sementara perempuan yang belum menikah disebut awewe.

“Dulu di Sunda, terutama di suku Baduy Banten, kata ewe digunakan untuk perempuan yang telah memiliki suami. Pasangan suami istri disebut ewe salaki, di mana ewe berarti istri dan salaki berarti suami,” jelas Ari Andriansyah, praktisi budaya Sunda dan pengajar di SMAN Jatinangor, Sumedang.

Ari menambahkan bahwa dalam tradisi Sunda, khususnya pada masa Kerajaan Padjadjaran, kata ewe salaki lazim digunakan untuk menyebut pasangan suami istri. Misalnya dalam ungkapan ewe salaki kudu akur yang berarti “pasangan suami istri harus hidup rukun.”

Perubahan Makna dan Generasi

Namun, seiring waktu, terjadi pergeseran makna. Kata ewe yang dahulu dianggap wajar dan lumrah dalam kehidupan sehari-hari, kini mulai dikaitkan dengan makna yang vulgar. Menurut Ari, pergeseran ini bisa terjadi akibat minimnya pemahaman generasi muda terhadap bahasa dan budaya lokal.

“Saya belum tahu kapan tepatnya makna itu mulai bergeser. Harus dicek lagi ke data dan literatur, misalnya di perpustakaan Ajip Rosidi atau kepada ahli seperti Kang Dadan Sutisna,” katanya.

Ia menegaskan bahwa kata ewe sebenarnya bukan istilah untuk hubungan seksual dalam budaya Sunda. Untuk menyebut hubungan intim, masyarakat Sunda mengenal istilah lain, yaitu sapatemon.

Diperlukan Kajian Lebih Lanjut

Terkait penggunaan kata ewe di Indramayu, Ari menilai perlu ada kajian mendalam. Ia mempertanyakan apakah kata tersebut merupakan warisan lokal atau justru hasil serapan dari bahasa atau budaya lain. Mengingat letak geografis Indramayu yang berada di pesisir utara Jawa, bukan tidak mungkin terjadi akulturasi bahasa dari berbagai daerah.

“Teman saya orang Indramayu juga bilang, sangat jarang sebenarnya kata ewe digunakan di sana. Jadi perlu dilihat lagi latar belakang linguistik dan sejarah bahasanya,” tuturnya.

Kesimpulan

Fenomena salah kaprah terhadap kata ewe mencerminkan bagaimana makna bahasa bisa bergeser akibat perbedaan budaya, waktu, dan kurangnya pemahaman lintas generasi. Apa yang dulunya merupakan bagian dari kosakata sehari-hari dengan makna netral, kini bisa disalahartikan dan bahkan dianggap tabu. Ini menjadi pengingat akan pentingnya pelestarian dan pemahaman mendalam terhadap bahasa dan budaya lokal sebelum maknanya benar-benar hilang tertelan zaman.

Sumber: detikJabar