SUBANG, TINTAHIJAU.com – Pada Rabu (15/11), Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta menjadi saksi Konser Coldplay yang tak hanya memberikan kegembiraan bagi puluhan ribu penggemar musik, tetapi juga membuka tirai dari krisis etika yang sedang terjadi. Kabar mengenai tingkat pengembalian Xyloband, gelang pintar canggih yang menjadi simbol konser, mencapai 77 persen, menjadi sorotan utama.
Dari 80.000 penonton, 18.400 di antaranya tidak mengembalikan Xyloband, sebuah angka yang mengejutkan terutama jika dibandingkan dengan rata-rata tahun pertama konser Coldplay yang mencapai 86 persen. Fenomena ini memunculkan pertanyaan krusial tentang etika dan kejujuran di kalangan penonton Coldplay di Indonesia.
Theresia Novi Poespita Candra, seorang Psikolog Perkembangan Anak, Remaja, dan Pendidikan dari Universitas Gajah Mada (UGM), menyatakan bahwa Indonesia tengah menghadapi krisis etika, dengan kejujuran menjadi salah satu korban utamanya. Menurutnya, mengembalikan gelang konser adalah bentuk etika, dan tidak melakukannya merupakan contoh nyata dari krisis etika yang melanda masyarakat.
Krisis etika ini, menurut Novi, tidak hanya tercermin pada pengembalian gelang konser. Perilaku sehari-hari, seperti membuang sampah sembarangan tanpa memperhatikan etika kebersihan, juga menjadi bagian dari krisis etika yang tengah terjadi.
Era digital memainkan peran besar dalam memperburuk kondisi ini. Respons cepat tanpa pertimbangan panjang, terutama dalam dunia digital, seringkali dipicu oleh teknologi yang mempercepat segala sesuatu dalam hidup kita.
Dalam konteks ini, Novi menyatakan bahwa ketidakmampuan berdialog menjadi salah satu dampak negatif dari era digital ini. Dengan segala kemudahan dan kecepatan informasi yang diberikan teknologi, terjadi penurunan kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan dampak dari tindakan yang diambil.
Psikolog ini menjelaskan bahwa otak manusia memiliki bagian korteks prefrontal yang memiliki tugas untuk membuat keputusan etik. Namun, penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia, khususnya di kota besar seperti Surabaya dan Jakarta, prefrontal cortex anak usia 15 tahun ke atas cenderung lemah karena kurangnya stimulasi melalui pendidikan.
Menurut Novi, pendidikan memiliki peran krusial dalam membentuk moral dan etika. Namun, pendidikan di Indonesia belum mampu membangun kesadaran diri dalam berperilaku. Ia menyoroti kebijakan pendidikan yang lebih fokus pada standarisasi akademis, literasi, dan numerasi tanpa memberikan penekanan pada moral dan etika.
Novi berpendapat bahwa perubahan paradigma pendidikan, dengan fokus pada kesadaran diri dan dialog, dapat menjadi langkah awal dalam mengatasi krisis etika. Moral dan etika terbentuk melalui moral reasoning, yang dapat dikembangkan melalui pendidikan yang melibatkan dialog dan diskusi.
Dia menekankan bahwa dampak dari ketidakmampuan berdialog dapat terlihat dalam berbagai aspek masyarakat. Oleh karena itu, fenomena ini seharusnya menjadi peringatan bagi masyarakat untuk lebih memperhatikan pendidikan berbasis kesadaran diri dan dialog sebagai langkah krusial dalam mengatasi krisis etika yang tengah melanda.
Novi juga mengacu pada teori social learning dari Albert Bandura, yang menyebut bahwa manusia mengambil informasi dan memutuskan tingkah laku yang akan diadopsi berdasarkan lingkungan dan tingkah laku orang lain yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, peran orang terdekat, termasuk orang tua, sangat penting dalam membentuk perilaku anak-anak.
Pendidikan formal dan peran guru menjadi krusial dalam memberikan pelatihan untuk belajar berdialog, bukan sekadar memberikan materi pembelajaran. Pemerintah perlu mengubah orientasi pendidikan untuk membangun peradaban baru, bukan hanya mengejar ketertinggalan nilai numerasi dan literasi.
Masyarakat Indonesia memiliki peran masing-masing dalam mengatasi krisis etika ini. Memperbanyak ruang interaksi dan dialog menjadi hal yang sangat penting. Orang tua perlu memiliki keterampilan mendengar dan berkonsekuensi, yang akan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan etika anak-anak.
Dalam merangkai kebijakan pendidikan, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk merombak sistem pendidikan yang lebih memperhatikan aspek moral dan etika. Dengan demikian, masyarakat Indonesia dapat melangkah menuju arah yang lebih etis, beradab, dan bertanggung jawab, sehingga krisis etika yang tengah melanda dapat diatasi secara komprehensif.
Sumber: AntaraNews.com