Konsepsi negara hukum (rechtstaat maupun rule of law) merupakan pilar esensial dalam diskursus teori politik dan hukum modern. Doktrin ini menegaskan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan sesuai dengan prinsip legalitas yang adil, rasional, dan menjamin perlindungan hak asasi manusia.
Dengan kata lain, hukum harus menjadi instrumen normatif yang mengendalikan kekuasaan, bukan sekadar alat legitimasi tindakan pemerintah. Dalam perspektif konseptual, negara hukum tidak hanya berfokus pada dimensi formal berupa keberadaan norma tertulis, tetapi juga mencakup dimensi substantif yang berorientasi pada keadilan, kesetaraan, dan supremasi hak-hak fundamental warga negara.
Dalam konteks Indonesia, prinsip ini memperoleh legitimasi normatif melalui Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan ini mengandung makna bahwa seluruh aktivitas pemerintahan harus tunduk pada supremasi hukum, baik dalam proses pembentukan kebijakan maupun dalam penerapannya kepada masyarakat. Namun, pengakuan konstitusional semata tidak serta-merta menjamin terwujudnya negara hukum yang efektif.
Salah satu asas penting dalam negara hukum adalah persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law), yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki posisi, derajat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi. Prinsip ini menuntut agar hukum mengakui serta melindungi hak asasi setiap warga tanpa membeda-bedakan latar belakang, status sosial, suku, agama, atau budaya. Dengan demikian, tidak boleh ada perlakuan istimewa terhadap siapa pun agar keadilan dan kepastian hukum benar-benar terwujud.
Meskipun regulasi tentang bantuan hukum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum beserta aturan pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013, praktik di lapangan masih menunjukkan keterbatasan akses bagi masyarakat kurang mampu untuk memperoleh pendampingan hukum. Padahal, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum—tiga pilar utama yang menopang bangunan hukum yang kokoh di tengah masyarakat.
Kompleksitas permasalahan sosial menuntut hukum hadir sebagai solusi yang adil dan tidak diskriminatif. Keadilan merupakan inti dari keberadaan hukum, ruh yang menghidupkan setiap pasal dan aturan. Hukum yang mengabaikan keadilan akan kehilangan makna moral dan legitimasi. Bila hukum dapat ditafsirkan sesuka hati, ia akan berubah menjadi alat penindas, bukan pelindung. Karena itu, jaminan equality before the law dan keadilan tanpa diskriminasi menjadi syarat mutlak bagi siapa pun yang mencari keadilan melalui jalur hukum.
Menurut Frans Hendra Winarta, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin yang membutuhkan pembelaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, mencakup perkara pidana, perdata, maupun tata usaha negara. Bantuan ini meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, serta melakukan tindakan hukum lain demi kepentingan penerima bantuan hukum.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengambil langkah progresif melalui Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 14/HK.04/HUKHAM Tahun 2025 tentang Fasilitasi Pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbankum) tertanggal 16 September 2025. Surat edaran ini memuat empat poin penting, yaitu:
1. Berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat untuk sinergi penguatan hukum yang berpihak kepada masyarakat melalui pembentukan Posbankum di kabupaten/kota.
2. Memfasilitasi pembentukan Posbankum di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan, termasuk kelembagaan dan infrastrukturnya.
3. Memfasilitasi penyediaan sumber daya manusia sesuai kemampuan keuangan daerah.
4. Membuat program-program yang mendukung penguatan hukum bagi masyarakat.
Pembentukan Posbankum di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan di seluruh wilayah Jawa Barat merupakan bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat kurang mampu. Posbankum berperan strategis dalam memenuhi hak pendampingan hukum secara cuma-cuma, sekaligus menjadi pusat informasi dan konsultasi hukum, pembuatan dokumen hukum, serta mediasi penyelesaian perkara.
Hingga saat ini, telah terbentuk 5.957 Posbankum desa/kelurahan yang tersebar di 27 kabupaten/kota se-Jawa Barat, menjadikan provinsi ini sebagai wilayah dengan jumlah Posbankum terbanyak di Indonesia. Namun, kuantitas harus diiringi kualitas. Posbankum perlu diperkuat secara kelembagaan melalui kebijakan dan kerja sama antarlembaga, serta melalui pelatihan paralegal yang intensif agar kader Posbankum memiliki kemampuan dasar dan teknis dalam memberikan layanan hukum.
Penguatan kelembagaan dan pelatihan paralegal merupakan upaya sinergis untuk memastikan layanan bantuan hukum berjalan efektif, profesional, dan berkualitas. Posbankum yang profesional berarti dikelola oleh tenaga hukum kompeten yang bekerja secara transparan, berintegritas, dan berorientasi pada keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.
Lebih jauh, kehadiran Posbankum yang profesional diharapkan mampu membentuk kesadaran hukum di masyarakat serta menjadi jembatan antara norma hukum formal dengan nilai-nilai sosial lokal. Dari sinilah akan tumbuh budaya hukum yang hidup dan berakar dari kearifan lokal—menuju tatanan masyarakat yang adil, beradab, dan berkeadilan sosial.
Fuadi, S.H., M.H, penulis adalah Praktisi Hukum sekaligus Managing partner Kantor Hukum NANGGALA




