OPINI: Dirujuk Sakit, Tak Dirujuk Lebih Sakit: Ironi 144 Penyakit ‘Ringan’ Versi Negara

SUBANG, TINTAHIJAU.com — “Barangkali bukan penyakitmu yang ringan, tapi empati sistem yang terlalu tipis.

Beberapa hari terakhir, media sosial diramaikan oleh kritik publik terhadap kebijakan BPJS Kesehatan yang menetapkan 144 penyakit tidak boleh dirujuk ke rumah sakit. Tagar #BPJS pun memuncaki trending topic di platform X (dulu Twitter), menandakan betapa banyak warga yang merasa terabaikan oleh sistem. Gelombang keluhan muncul dari mereka yang merasa bahwa penyakit yang diderita—meski nyata dan menyiksa—telah dianggap terlalu remeh untuk mendapat perhatian serius.

Daftar tersebut mencakup kondisi seperti TB paru, anemia defisiensi besi, demam berdarah, vertigo, hingga infeksi saluran kemih. Semua dianggap cukup ditangani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti puskesmas atau klinik. Tak ada rujukan ke rumah sakit, kecuali jika gejalanya sudah sangat berat. Tapi di balik keputusan itu, muncul satu pertanyaan besar: apakah benar seluruh FKTP di Indonesia siap menangani semua kasus tersebut secara optimal?

Bayangkan seorang ibu di desa terpencil yang menderita anemia parah, tetapi tidak bisa dirujuk ke rumah sakit karena penyakitnya terdaftar sebagai “tidak berat”. Atau anak kecil yang mengalami otitis media akut, menangis setiap malam karena nyeri, tapi cukup diberi antibiotik generik di FKTP yang bahkan tidak punya alat otoskop.

Padahal, otitis media yang tidak ditangani dengan benar bisa menyebabkan komplikasi serius seperti gangguan pendengaran permanen [1]. Anemia defisiensi besi yang berat bisa memerlukan penanganan lebih lanjut seperti transfusi darah atau zat besi intravena, bukan hanya tablet besi biasa [2]. Bahkan infeksi saluran kemih yang tampak ringan pun bisa naik menjadi infeksi ginjal, dan dalam kondisi tertentu bisa berkembang menjadi sepsis [3]. Tapi dalam sistem hari ini, yang dilihat bukan kebutuhan medis, melainkan daftar administratif.

Ini bukan sekadar soal teknis, tapi cermin dari cara negara melihat warganya. Ketika penderitaan harus memenuhi syarat administratif sebelum bisa ditangani secara layak, maka yang sedang dikelola bukan kesehatan, melainkan efisiensi. Negara tidak lagi menimbang apakah rakyatnya sembuh atau tidak, tapi apakah anggaran tetap stabil atau tidak.

Di sinilah ironi itu menganga: kebijakan ini mungkin mengurangi antrean di rumah sakit, tapi sekaligus memperpanjang derita mereka yang seharusnya mendapat penanganan lanjutan. Bukannya memperkuat FKTP, sistem ini justru membebani fasilitas dasar tanpa memperlengkapinya. Yang menjadi korban, tentu saja bukan mereka yang punya asuransi swasta, tetapi masyarakat kecil yang menggantungkan seluruh harapan pada satu kartu: BPJS.

Jika ditarik lebih jauh, inilah bentuk nyata dari komodifikasi kesehatan. Kesehatan tidak lagi dimaknai sebagai hak yang melekat pada setiap manusia, tetapi sebagai angka dalam grafik efisiensi. Yang sakit hanya dilihat sebagai data. Yang menderita hanya diakui jika biaya perawatannya sebanding dengan anggaran sistem. Kita sedang hidup dalam zaman ketika prosedur lebih penting dari penyembuhan, dan surat rujukan lebih sulit dicapai ketimbang diagnosis yang benar.

Sudah waktunya publik bersuara. Ini bukan sekadar kritik terhadap satu kebijakan, tapi juga peringatan terhadap arah sistem. Kesehatan bukan barang dagangan yang bisa ditakar dengan kalkulasi dingin. Ia adalah amanah konstitusi, dan lebih dari itu: amanah nurani.

Jika negara sungguh ingin memperkuat pelayanan dasar, maka FKTP harus dibekali dengan alat, SDM, dan fasilitas penunjang yang memadai. Bukan dengan sekadar memberi daftar penyakit yang tak boleh dirujuk. Jika negara sungguh ingin efisiensi, maka cara terbaik adalah mempercepat kesembuhan, bukan memperlambat akses layanan.

Karena pada akhirnya, masalah ini bukan hanya tentang daftar penyakit. Tapi tentang bagaimana negara menimbang nyawa, menilai derita, dan menempatkan rakyat dalam skema kebijakan publik. Jangan sampai kita hanya bisa berkata: dirujuk sakit, tak dirujuk lebih sakit.

Referensi:
[1] American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF). “Acute Otitis Media.” Clinical Practice Guideline.
[2] World Health Organization. (2016). Guideline: Daily iron supplementation in adult women and adolescent girls.
[3] National Institute for Health and Care Excellence (NICE). Urinary tract infection (lower): antimicrobial prescribing. Updated 2023.

Oleh: Fras Ann.
(Pemerhati Kebijakan Publik & Dosen Unsub sedang Studi Doktoral di Unpad).