OPINI | Ketidakadilan Fiskal di Balik Bencana Ekologis Sumatera

Wilayah Utara Sumatera kembali diguncang bencana pada awal November 2025. Deretan bencana hidrometeorologi—mulai dari banjir bandang yang menggerus permukiman hingga longsor yang memutus akses jalan—kembali menegaskan bahwa ini bukan sekadar amukan alam. Fenomena tersebut merupakan dampak nyata krisis ekologis yang dipicu oleh alih fungsi lahan besar-besaran di wilayah hulu.

Auriga Nusantara mencatat, sejak 2023 tren deforestasi Indonesia kembali melonjak, dengan kawasan hutan Sumatera menjadi salah satu titik terparah. Jika kita melihatnya dari perspektif hukum perpajakan, bencana ini tidak hanya menghasilkan kerusakan ekologis. Terdapat kerugian keuangan negara yang sangat besar dan tersembunyi di balik setiap pohon yang ditebang—mengalir ke aktivitas ekonomi ilegal berskala masif atau shadow economy.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan nilai shadow economy Indonesia mencapai 30–40 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan PDB 2020 sebesar Rp15.434,2 triliun, maka nilai aktivitas ekonomi gelap mencapai Rp4.063,5 hingga Rp6.173,6 triliun—angka fantastis yang menggambarkan potensi kebocoran fiskal negara.

Di satu sisi, pemerintah menagih pajak masyarakat dengan ketat untuk membiayai pembangunan. Di sisi lain, para perusak hutan menikmati keuntungan tanpa membayar kewajiban perpajakan sepeser pun. Ketika bencana datang, biaya pemulihan justru dibebankan kepada negara dan wajib pajak patuh. Walhi (2024) juga menegaskan bahwa kerusakan di kawasan resapan air akibat aktivitas ilegal terus berlanjut tanpa sanksi ekonomi yang setimpal. World Bank menyebut kondisi ini sangat merugikan perekonomian nasional, karena negara kehilangan sumber pendapatan penting untuk pembangunan ekonomi hijau.

Potret Kebocoran Fiskal: Taman Nasional Tesso Nilo

Contoh paling gamblang terlihat pada kasus Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau. Pemprov Riau dan Pansus DPRD menemukan fakta bahwa 1,4 juta hektar kebun sawit ilegal di wilayah tersebut menyebabkan potensi pendapatan negara hilang hingga Rp107 triliun per tahun. Jumlah itu mencakup Pajak Penghasilan (PPh) serta berbagai jenis pajak lain yang tidak masuk ke kas negara.

Dari sudut pandang administrasi perpajakan, status lahan yang ilegal membuat para pelaku usaha tidak bisa mendaftarkan NPWP sehingga perputaran uang ratusan triliun itu berlangsung di pasar gelap—sepenuhnya lepas dari kewajiban fiskal.

Tambang Ilegal dan Kerusakan Fiskal yang Eksponensial

Kebocoran fiskal juga menganga akibat maraknya aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Sumatera. Kasus korupsi tata niaga di Bangka Belitung menjadi bukti betapa besar kerugian negara. Total kerugian ekologis dan ekonomi mencapai Rp271 triliun—jauh melampaui penerimaan pajak sektor pertambangan itu sendiri.

Pelaku tambang ilegal bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga secara sadar menghindari pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). KPK menyoroti lemahnya pengawasan sehingga negara kehilangan haknya atas kekayaan alam yang terus dikeruk tanpa kendali.

Bahkan di sektor pertambangan yang legal, tingkat kepatuhan pajak masih rendah. Riset Pathya Purwanti & Sinring (2025) menunjukkan perusahaan dengan profit tinggi cenderung melakukan penghindaran pajak (tax avoidance). Minimnya transparansi data produksi membuat fiskus kesulitan menghitung pajak secara akurat. Stranas PK pun mengakui penerimaan negara dari sektor mineral dan batu bara belum optimal akibat akurasi data wajib pajak yang rendah.

Perlu Pendekatan Fiskal yang Memaksa

Mengatasi kebocoran fiskal tidak cukup hanya dengan sanksi pidana atau penyitaan alat berat. Indonesia memerlukan instrumen hukum pajak yang memaksa sekaligus memberi efek jera secara ekonomi.

UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebenarnya telah membuka jalan melalui pajak karbon. Pajak ini didesain untuk menekan aktivitas ekonomi beremisi tinggi. Namun penerapannya masih terbatas. Pemerintah harus memperluas cakupan hingga sektor alih fungsi lahan agar bisa menjerat para perusak hutan ilegal seperti di TNTN.

Analisis BPPK menegaskan bahwa pajak karbon, jika diterapkan secara konsisten dan luas, dapat menjadi instrumen efektif bukan hanya untuk menambah kas negara tetapi juga mengubah perilaku pelaku usaha. Beban pajak tinggi akan menekan motif perusakan hutan demi keuntungan cepat.

Dengan demikian, hukum pajak dapat menjadi alat yang memaksa sehingga para perusak alam wajib membayar “harga” dari kerusakan yang mereka timbulkan. Selain menutup kebocoran fiskal, langkah ini juga memulihkan hak negara yang selama ini dicuri melalui shadow economy.

Keselarasan antara data perpajakan dan data lingkungan hidup menjadi kunci penting agar bencana ekologis di Sumatera tidak terus berulang—dan agar daerah lain terlindungi dari ketidakadilan fiskal serupa.


Kinanti Syhaumi Prameswari
Mahasiswa Universitas Airlangga