OPINI: Media Daerah; Antara Gempuran Medsos, Stigma Recehan dan Nadi Jurnalisme

Di era digital yang serba cepat dan serba viral, media sosial seolah menjadi panglima baru dalam hal penyebaran informasi. Siapa pun kini bisa menjadi “jurnalis dadakan”, mengunggah, menyebar, dan membentuk opini publik hanya lewat satu unggahan.

Di tengah arus besar ini, media massa, terlebih media lokal, justru sering tersisih. Bukan hanya karena kalah cepat, tapi karena cara pandang publik yang keliru.

Namun, di balik gegap gempita media sosial, kita sering lupa satu hal penting: media massa memiliki sistem, struktur, dan tanggung jawab etik. Ia bukan sekadar ruang mempublikasi, tapi juga sarana validasi. Ia bukan hanya tempat cerita dibagikan, tapi juga tempat kebenaran diuji.

Sayangnya, di banyak tempat, terutama di daerah, media masih dipandang sebelah mata. Banyak yang menganggap kerja jurnalis itu hanya sebatas “liput, edit, posting”. Bahkan lebih parah, media lokal kerap dibandingkan secara tidak adil dengan akun-akun media sosial yang bisa melambung hanya karena satu unggahan viral.

Cara pandang seperti ini bukan hanya keliru, tapi juga merendahkan peran vital media sebagai watchdog demokrasi. Padahal, banyak media lokal yang tengah berjuang untuk menempatkan dirinya secara profesional.

Mereka merekrut jurnalis, melatihnya, memproyeksikan isu strategis, dan membangun sistem kerja yang terukur, baik secara redaksional maupun bisnis.

Banyak orang, termasuk institusi, masih memandang media lokal dengan sebelah mata. Dianggap sekadar pelengkap, atau bahkan dianggap ‘aktivitas yang ketimbang gak ada aktivitas’. Tidak jarang, kerja jurnalistik dianggap hanya “liput, edit, posting”, padahal di balik itu ada proses panjang yang tak semua orang pahami.

Padahal, media lokal tengah berjuang di dua medan yang tidak mudah. Di satu sisi, mereka dituntut untuk tetap memenuhi hak publik atas informasi yang akurat dan berimbang. Di sisi lain, mereka juga harus menjalankan peran sebagai institusi bisnis: menggaji karyawan, membayar BPJS, membiayai operasional, dan tetap hidup di tengah iklim yang tidak selalu ramah.

Banyak redaksi media lokal yang nyaris tidak tidur: dari mengatur peliputan, menyusun agenda redaksi, mengejar narasumber yang enggan bicara, hingga menyunting berita dengan tekanan tenggat waktu. Namun, upaya dan profesionalitas itu kerap tak sebanding dengan penghargaan yang diterima.

Ironisnya, sebagian publik, bahkan institusi yang seharusnya berkepentingan terhadap eksistensi media, masih menganggap cukup membayar kerja media dengan uang receh. Sekadar “biaya transport” atau “ucapan terima kasih” untuk kerja liputan yang sebenarnya bernilai jauh lebih dari itu. Inilah bentuk lain dari devaluasi profesi media yang sangat menyakitkan.

Memang tidak semua media bekerja secara ideal. Namun, tidak bisa digeneralisasi bahwa semua media sama. Ada banyak media lokal yang menata sistemnya, melatih jurnalisnya, menyusun kode etik internal, bahkan mencoba membangun model bisnis yang sehat dan berkelanjutan, meskipun tidak mudah.

Sudah saatnya cara pandang itu diubah 180 derajat. Media bukan sekadar pelengkap komunikasi institusi, tapi partner dalam membangun peradaban. Ia adalah pilar keempat demokrasi, yang dalam banyak hal justru lebih dekat dengan denyut nadi masyarakat dibanding lembaga formal.

Dalam konteks pembangunan daerah, media juga masuk dalam konsep pentahelix, bersama pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan komunitas. Maka, ketika media diabaikan atau diremehkan, sebenarnya yang dikerdilkan bukan hanya medianya, tapi juga ekosistem pembangunan itu sendiri.

Media sosial boleh terus berkembang, tapi media massa tetap menjadi jangkar terakhir yang menjaga akurasi, etika, dan tanggung jawab.

Media massa bukan pesaing media sosial, tapi filter terakhir agar kebenaran tak tenggelam dalam gelombang hoaks dan sensasi.

Maka sudah saatnya kita berhenti memandang media lokal dengan sinis. Karena ketika kebenaran butuh rumah, media massa lah tempat pulangnya.

Annas Nashrullah, Penulis adalah Jurnalis dan Aktif Ngopi di Pondok Hejo Alasoy Subang