Dalam kenyataannya diakui bahwa Pemilu 1955 merupakan pemilu yang mendapat banyak pujian termasuk dari luar negeri dikarenakan berhasil melaksanakan pemilu dengan aman, lancar, jujur dan adil serta demokratis. Pada saat itu Pemilu 1955 diikuti oleh 30-an lebih partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan calon perorangan.
Walaupun pemilu 1955 merupakan pemilu yang paling ideal karena dapat terbangunnya trust diselurh peserta pemilu dan warga negara ternyata masih terdapat pergerakan-pergerakan pertentangan yang menimbulkan gesekan. Gesekan-gesekan tersebut merupakan hasil dari pertarungan ideologi yang dibawa masing-masing peserta. Gesekan tersebutpun terjadi diluar wilayah kpemiluan sebenarnya. Bukan hasil dari tindakan yang dapat mencederai nilai-nilai demokratis yang sudah terbangun.
Di tahun 1982 mulai muncul distrust terhadap kekuasaan pada saat itu. Rezim yang mengkooptasi dengan gaya kepemimpinannya membuat banyaknya pelanggaran dan manipulasi suara terhadap pemilu yang kebetulan saat itu sudah dibentuk Panwaslak Pemilu (Panitia Pengawas Pelaksanaan). Lambat laun pelanggaran demi pelanggaran mulai tersebar massif sampai saat ini pemilu selalu didentikan dengan hal yang negatif. Mulai hilngnya kepercayaan terhadap penelenggara pemilu, peserta pemilu yakni partai politik menjadi alasan utama masyarakat yang tidak suka dengan pemilu.
Gesekan-gesekan yang muncul pada pemilu saat itu menjadi suatu warisan buruk yang sampai hari ini tidak sdikit masih beredar. Gesekan yang lahir dari pemikiran-pemikiran pragmatis yang pada akhirnya memunculkan aktivitas yang tidak etis, seperti money politic, hate speech, hoax, manipulasi suara dan lainnya seakan-akan diciptakan secara sengaja agar mendaptakan hasil yang makssimal yaitu menjadi pemenang dalam pemilu.
Hal ini sudah jelas berbeda dengan cikal bakal pemilu bahkan pemilu yang dianggap paling ideal yaitu pada saat Pemilu 1955. Persaingan yang harusnya diisi oleh ideology, konsep tata kelola negara, seni mengentaskan kemiskinan seperti jauh dari esensi diadakannya pemilu.
Sebagai warga negara yang hanya menikmati hasil dari kemerdekaan tidak sepantasnya kita membiarkan hal-hal yang menimbulkan perpecahan dan gesekan tidak etis sepeti yang disampaikan tadi terus berlanjut. Khususnya di kalangan anak muda salahsatu contohnya bisa berkaca pada tindakan yang dilakukan oleh Sukarni membawa Soekarno agar segera Indonesia merdeka. Semangat perjuangan secara kolektif akan menajaga api keadilan agar tidak padam karena pada esensi dari dipilihnya Soekarno dan Moh Hatta yaitu tidak lain tidak bukan adalah menciptakan “Keadilan” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sudah saatnya pemilu 2024 bisa menciptakan masyarakat menjadi lebih nyaman dalam kehidupan bernegara, tentu hal tersebut bisa dihasilkan dari public policy (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) yang adil. Mari sambut moment kemerdekaan dengan penuh semangat perjuangan, ikhtiar kolektif serta kolaborasi antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih agar terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT melalui Pemilu 2024.
MERDEKA..
Anggi Prayitno, Penulis adalah Mahasiswa S2 UIN Bandung