OPINI | Membaca Ujung dari Perkara Pencemaran Nama Baik Pejabat Subang

Oleh: Irwan Yustiarta – Praktisi Hukum & Kuasa Hukum HS

Perselisihan antar-Aparatur Sipil Negara (ASN) bukanlah perkara baru. Namun ketika konflik personal kemudian berubah menjadi laporan dugaan pencemaran nama baik dan masuk ke ranah hukum pidana, ada tanggung jawab besar yang harus dipikul: bukan hanya kepada diri sendiri, tetapi juga kepada lembaga yang menaungi mereka, yakni Pemerintah Kabupaten Subang.

Kasus yang melibatkan HS (pelapor) dan M (terlapor) kini menjadi sorotan publik Subang. Banyak yang bertanya: apakah jalan hukum adalah satu-satunya rute yang harus ditempuh? Ataukah ada ruang untuk solusi yang lebih membumi, lebih manusiawi, dan lebih mencerminkan kedewasaan ASN?

Sebagai praktisi hukum dan kuasa hukum HS, saya memandang persoalan ini tidak cukup dilihat dari kacamata legal-formal semata. Ada dimensi lain yang tak kalah penting: aspek psikologis, sosial, moral, dan kelembagaan.


Hukum Boleh Tegas, Tapi Kehidupan Tidak Hitam-Putih

Secara normatif, dugaan pencemaran nama baik memang dapat diproses melalui ketentuan pidana. Namun masyarakat perlu memahami: membuktikan tindak pidana bukanlah perkara yang mudah. Pasal 184 KUHAP mengatur bahwa pembuktian harus bersandar pada alat bukti yang sah—bukan pada perasaan, tekanan publik, atau dorongan emosional.

Ketika masuk ke penyidikan, apalagi persidangan, kedua pihak akan menghadapi proses panjang yang melelahkan. Beban psikologis tidak bisa dianggap remeh—baik bagi dirinya sendiri maupun keluarga.

Hukum, betapapun objektifnya, tidak pernah benar-benar bebas dari konsekuensi sosial.


ASN Bukan Hanya Individu, Tapi Representasi Negara

Dalam kasus HS dan M, keduanya adalah ASN Pemkab Subang. Mereka bukan hanya pribadi, tetapi juga representasi dari negara. Apa pun yang mereka lakukan akan memiliki implikasi terhadap citra pemerintah daerah—lebih khusus, citra Bupati Subang sebagai pembina ASN.

Karena itu, konflik yang melibatkan dua ASN tidak boleh dipandang sebagai benturan ego. Ia menyangkut marwah kelembagaan.

Di titik ini, saya menilai penyelesaian damai bukan hanya opsi hukum, tetapi juga pilihan etis dan moral.


Perdamaian Bukan Kekalahan

Sering kali perdamaian dianggap sebagai “kalah” atau “mengalah”. Padahal dalam konteks hukum dan kemasyarakatan, perdamaian adalah bentuk kebijaksanaan. Ini bukan tentang siapa benar dan siapa salah semata, melainkan tentang kesiapan kedua pihak untuk memprioritaskan kepentingan yang lebih besar.

Salah satu yang kerap saya tekankan adalah: permintaan maaf tidak menjatuhkan martabat siapa pun. Justru permintaan maaf mengangkat derajat, menunjukkan kematangan psikologis dan kecerdasan sosial.

Tidak ada ASN yang kehilangan wibawa karena memilih jalan damai.

Yang kehilangan wibawa justru mereka yang mempertahankan pertikaian tanpa tujuan yang konstruktif.


Melihat Dampak yang Lebih Luas

Jika perkara ini berlanjut, media akan terus memberitakan, publik akan terus membahas, keluarga kedua pihak akan terus menanggung beban moral. Apakah harga itu layak dibayar?

Saya menilai, tidak.

Seorang ASN memiliki keluarga, memiliki orang tua, memiliki anak yang mungkin belum memahami apa itu proses hukum. Dampak terhadap mereka sering kali lebih berat daripada yang kita bayangkan.

Itulah sebabnya, dalam banyak perkara sejenis, langkah damai selalu menjadi rute paling manusiawi.


Penutup: Memilih yang Lebih Bijak, Bukan yang Lebih Keras

Saat kita membicarakan hukum, kita sering terpaku pada ketentuan pasal. Namun ketika menghadapi kehidupan nyata, kita perlu mempertimbangkan nilai kemanusiaan. Dalam kasus HS dan M, saya melihat peluang besar untuk penyelesaian yang elegan, konstruktif, dan menjaga martabat semua pihak.

Hukum memberi ruang untuk damai.
Masyarakat menunggu kedewasaan.
Dan Subang membutuhkan ketenangan.

Tidak ada yang kalah bila dua ASN memilih duduk bersama.
Justru itulah kemenangan sejati: kemenangan akal sehat, kebijaksanaan, dan penghormatan terhadap tatanan pemerintahan.