Keberadaan Badan Kehormatan (BK) DPRD sejatinya merupakan benteng terakhir penjaga marwah, harkat, dan martabat lembaga legislatif daerah. BK tidak hanya bertugas menilai benar atau salah seorang anggota dewan secara etik, tetapi juga memastikan bahwa setiap proses penegakan kode etik berjalan sesuai koridor hukum, prosedur, dan asas-asas keadilan.
Belakangan ini, publik Subang dihadapkan pada dinamika serius menyusul beredarnya video pertemuan antara Badan Kehormatan DPRD Subang dengan sekelompok masyarakat yang menamakan diri APBD Watch, sebagaimana tayangan akun TikTok Ruang Argumen pada Senin, 15 Desember 2025, yang kemudian beredar luas di berbagai platform media sosial.
Dalam tayangan tersebut, APBD Watch menyampaikan pengaduan dugaan pelanggaran yang diarahkan kepada Ketua DPRD Subang, Viktor Wirabuana, SH, dengan tiga klaster tuduhan: dugaan japrem kepada oknum pejabat Bapenda Subang, dugaan penarikan uang rotasi-mutasi, serta dugaan “uang ketok palu”.
Persoalannya kemudian bukan semata pada berat-ringannya tuduhan, melainkan pada bagaimana Badan Kehormatan DPRD Subang menjalankan tugas dan kewenangannya dalam menerima dan memproses pengaduan tersebut.
BK DPRD dan Kepatuhan pada Regulasi
Secara normatif, kedudukan dan kewenangan Badan Kehormatan DPRD telah diatur jelas dalam berbagai regulasi, mulai dari UUD 1945 Pasal 18 ayat (6), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hingga PP Nomor 12 Tahun 2018 dan Peraturan Tata Tertib DPRD Subang.
BK DPRD memiliki tugas utama meneliti dugaan pelanggaran kode etik dan tata tertib, melakukan klarifikasi serta verifikasi, hingga melaporkan hasilnya kepada rapat paripurna. Dalam menjalankan tugas tersebut, BK wajib menjunjung asas keadilan, objektivitas, profesionalisme, transparansi, serta yang paling krusial: asas praduga tidak bersalah.
Di titik inilah publik patut bertanya secara kritis:
Apakah mekanisme penerimaan pengaduan APBD Watch telah sepenuhnya memenuhi prosedur baku yang ditetapkan peraturan perundang-undangan?
Pertanyaan Prosedural yang Tak Bisa Diabaikan
Sejumlah pertanyaan mendasar layak diajukan kepada Badan Kehormatan DPRD Subang, antara lain:
Apakah APBD Watch telah menyampaikan pengaduan secara tertulis dan terdaftar secara resmi di sekretariat BK?
Apakah identitas pengadu, teradu, waktu, dan tempat kejadian telah diuraikan secara jelas dan formal?
Apakah pengaduan tersebut disertai alat bukti, dokumen pendukung, saksi, atau bukti elektronik yang sah?
Apakah pihak teradu telah diberi ruang yang setara untuk memberikan klarifikasi dan pembelaan dengan alat bukti yang dimilikinya?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan bertujuan membela siapa pun, melainkan untuk memastikan bahwa proses etik tidak berubah menjadi pengadilan opini, terlebih ketika disiarkan dan dikonsumsi publik secara luas melalui media sosial.
Etika, Bukan Pidana
Perlu ditegaskan, Badan Kehormatan DPRD hanya berwenang memeriksa pelanggaran kode etik dan tata tertib, bukan dugaan tindak pidana korupsi, kolusi, atau gratifikasi. Bila substansi laporan telah mengarah pada ranah pidana, maka semestinya diarahkan ke aparat penegak hukum seperti kepolisian atau kejaksaan.
BK DPRD tidak boleh diposisikan sebagai “ruang publikasi tuduhan”, melainkan sebagai forum etik yang bekerja secara tertutup, objektif, dan berlandaskan hukum.
Menjaga Marwah Lembaga
Keterbukaan memang penting, namun keterbukaan tanpa prosedur justru berpotensi mencederai martabat DPRD itu sendiri. Proses pemeriksaan Badan Kehormatan bersifat tertutup, identitas pengadu dilindungi, dan tidak semestinya menjadi konsumsi media sosial sebelum ada keputusan resmi.
Menjaga marwah DPRD Subang bukan berarti menutup-nutupi kesalahan, melainkan memastikan bahwa setiap dugaan diuji secara adil, profesional, dan bertanggung jawab. Di sinilah integritas Badan Kehormatan diuji: apakah mampu berdiri tegak sebagai penjaga etik, atau justru larut dalam arus tekanan opini publik.
Pada akhirnya, publik berhak tahu hasil, tetapi hukum dan etika menuntut proses yang benar. Tanpa itu, keadilan akan kehilangan maknanya, dan marwah lembaga terancam runtuh oleh kegaduhan yang tidak berujung pada kepastian hukum.
IRWAN YUSTIARTA
Praktisi Hukum






