Penggalangan aparatur desa untuk bersilaturhami, namun faktanya berbumbu deklarasi dukungan pada capres tertentu, adalah tindakan sadar bersama dan penuh pertimbangan matang yang dilakukan jelang kampanye pilpres. Terlepas ditunggangi partai politik tertentu, kegiatan itu juga memiliki tujuan jelas: mendukung pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
Dari tujuan yang jelas itu, kita bisa memprediksi arah gerakan para aparat desa ini, yakni membuka ruang untuk bisa mempengaruhi masyarakat di wilayahnya memilih pasangan calon yang diusung asosiasinya di pilpres nanti. Cermati saja pernyataan Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (MPO Apdesi) Muhammad Asri Anas yang secara eksplisit menyatakan bahwa kepala desa, perangkat desa, dan anggota permusyawaratan desa tidak menutup peluang bakal mengampanyekan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) di balik layar (Kompas.com. 19/11/23).
Berbagai pihak, utamanya para akademisi Ilmu Pemerintahan, menilai aksi ini sebagai bentuk ketidakpatutan. Meski secara normatif tidak melanggar aturan sebab belum memasuki masa kampanye, tetap saja secara etika, kehadiran ribuan perangkat desa itu melanggar standar kepatutan dan kepantasan.
Padahal, Pasal 280 Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu secara tegas melarang keterlibatan itu. Netralitas ASN penting demi mencegah terjadinya kecurangan pemilu.
Senada dengan itu, pegawai pemerintahan desa, sebagaimana dinyatakan di Pasal 17 ayat (1) UU Aparatur Sipil Negara (ASN), adalah bagian dari ASN. Dan ASN ditegaskan dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu: dilarang terlibat dalam kampanye Pemilu dan mendukung salah satu calon presiden.
Bahkan UU No. 6/ 2014 tentang Desa, kepala dan perangkat desa yang terlibat dalam kampanye juga dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan/tertulis hingga pemberhentian (Pasal 29 dan 30 serta Pasal 51 dan 52)