Pelanggaran atas tiga undang-undang ini tak hanya menimbulkan kekhawatiran terkait aspek hukum semata, melainkan juga menciptakan sebuah dinamika yang dapat dihubungkan dengan konsep “pembangkangan aparatur sipil”.
Secara umum, “pembangkangan sipil” didefinisikan sebagai tindakan warga negara atau kelompok masyarakat yang bersifat non-kooperatif terhadap pemerintahan atau kebijakan tertentu. Dalam konteks ini, perilaku aparatur desa yang secara terang-terangan mendukung calon tertentu bisa dipandang sebagai bentuk pembangkangan yang terencana dan dilakukan secara bersama-sama.
Cermati saja upaya penggalangan aparatur desa untuk kepentingan politik tertentu, terlepas dari motifnya, menciptakan ketidaknetralan yang mencolok. Dengan dukungan terhadap pasangan capres tertentu secara terorganisir, aparat desa tampaknya melanggar prinsip netralitas yang seharusnya dijunjung tinggi, mengingat posisinya sebagai penyelenggara pemerintahan desa maupun panitia pemungutan suara di tingkat desa.
Konsekuensinya, tindakan ini dapat dianggap sebagai awal dari terjadinya pembangkangan sipil di dalam aparatur sipil itu sendiri, dengan dampak potensial pada integritas proses demokrasi.
Tindakan pembangkangan tersebut menambah dimensi kekhawatiran tidak hanya terbatas pada dukungan terbuka, tetapi juga melibatkan strategi yang lebih tersembunyi. Dengan begitu, pelanggaran terhadap aturan pemilu dan netralitas ASN menciptakan urgensi untuk menegakkan standar etika dan hukum dalam menghadapi situasi seperti ini.
Budi Setiawan
Penulis adalah mantan jurnalis, kini pemerhati masalah sosial politik (alumnus FISIP Universitas Padjadjaran