KETIKA berbicara tentang pendidikan di Indonesia, kita seringkali dihadapkan pada fakta yang mengejutkan. Salah satunya adalah berita dari media ini yang mengungkapkan bahwa di Kabupaten Subang, Jawa Barat, terdapat 21.000 anak yang tidak bersekolah. Jumlah ini sangat memprihatinkan dan menyoroti betapa kompleksnya masalah pendidikan yang kita hadapi.
Anno Suyatno, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Subang, menyebutkan bahwa tingginya angka anak tidak sekolah (ATS) di Subang dipengaruhi oleh angka kemiskinan yang cukup tinggi. Pernyataan ini menggarisbawahi hubungan erat antara kemiskinan dan pendidikan, yang sering digambarkan sebagai lingkaran setan.
Ketika kemiskinan menghalangi akses pendidikan, anak-anak kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka di masa depan, yang pada gilirannya memperpanjang kemiskinan ke generasi berikutnya. Dalam konteks kemiskinan, pendidikan sering kali menjadi korban pertama. Keluarga miskin harus menghadapi berbagai kendala untuk menyekolahkan anak-anak mereka, mulai dari biaya sekolah, kebutuhan seragam, buku, hingga biaya transportasi.
Selain itu, anak-anak dari keluarga miskin seringkali harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, yang berarti mereka harus mengorbankan pendidikan mereka. Masalah kesehatan dan gizi juga tidak bisa diabaikan. Anak-anak dari keluarga miskin cenderung mengalami masalah kesehatan dan kekurangan gizi, yang berdampak negatif pada kemampuan mereka untuk belajar.
Lingkungan sosial yang tidak mendukung, kurangnya motivasi dari orang tua yang mungkin juga tidak berpendidikan tinggi, dan kualitas sekolah yang rendah di daerah miskin semakin memperparah masalah ini.
Untuk memutus lingkaran setan ini, kita perlu pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis komunitas. Pemerintah daerah, komunitas lokal, dan berbagai pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk menemukan solusi yang tepat sasaran.
Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat program-program bantuan pendidikan seperti beasiswa, bantuan biaya sekolah, dan pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah miskin. Namun, program-program ini tidak akan efektif tanpa partisipasi aktif dari komunitas lokal. Komunitas lokal harus diberdayakan untuk terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pendidikan.
Misalnya, program pemberdayaan ekonomi komunitas bisa membantu keluarga miskin mendapatkan sumber pendapatan tambahan, sehingga mereka tidak perlu bergantung pada tenaga anak-anak mereka. Selain itu, program gizi sekolah bisa memastikan anak-anak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup untuk mendukung proses belajar mereka.
Sektor swasta dan organisasi non-pemerintah juga bisa berperan besar dalam mendukung pendidikan. Melalui program CSR (Corporate Social Responsibility), perusahaan bisa membantu membangun fasilitas pendidikan, menyediakan beasiswa, atau mendukung program pelatihan guru. Organisasi non-pemerintah bisa berperan dalam mengadvokasi hak-hak pendidikan dan memberikan dukungan langsung kepada keluarga miskin.
Misalnya, perusahaan lokal bisa bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk menyediakan peralatan belajar yang dibutuhkan atau mengadakan program mentoring bagi siswa. Sementara organisasi non-pemerintah bisa membantu mendirikan pusat-pusat belajar komunitas yang memberikan bantuan belajar bagi anak-anak yang kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah.
Kasus 21.000 anak tidak bersekolah di Kabupaten Subang adalah alarm yang seharusnya membangunkan kita semua. Ini adalah cerminan betapa masih banyaknya pekerjaan rumah dalam upaya meningkatkan akses dan kualitas pendidikan di daerah ini.
Kemiskinan dan pendidikan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Memperbaiki yang satu, akan memperbaiki yang lain. Pemerintah, komunitas, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah harus bekerja bersama dalam satu tujuan: memastikan setiap anak, termasuk anak-anak dari keluarga miskin, mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah dan meraih masa depan yang lebih baik.
Masalah kemiskinan di Kabupaten Subang tidak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan di atas kertas. Dibutuhkan komitmen nyata dari semua pihak mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan tepat sasaran. Pemerintah harus memastikan bahwa dana yang dialokasikan untuk pendidikan benar-benar sampai ke tangan yang membutuhkan.
Komunitas lokal harus aktif berpartisipasi dalam proses ini, dengan memberikan dukungan moral dan material bagi keluarga miskin. Sekolah-sekolah juga harus menjadi tempat yang ramah dan inklusif bagi semua anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi mereka.
Tidak bisa dipungkiri, pendidikan adalah kunci untuk memutus lingkaran setan kemiskinan. Dengan pendidikan yang baik, anak-anak dari keluarga miskin bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan, meningkatkan taraf hidup mereka, dan pada akhirnya membantu mengangkat keluarganya dari kemiskinan.
Namun, untuk mencapai tujuan ini, kita harus bekerja keras dan bergandengan tangan. Tidak ada satu pihak pun yang bisa menyelesaikan masalah ini sendirian. Diperlukan kerjasama dan sinergi antara pemerintah, komunitas, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah.
Kita harus berani bermimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi tersebut. Bayangkan, jika setiap anak di Kabupaten Subang mendapatkan pendidikan yang layak, berapa banyak potensi yang bisa kita gali? Berapa banyak generasi muda yang bisa tumbuh menjadi pemimpin, inovator, dan penggerak perubahan?
Pendidikan bukan hanya tentang belajar di dalam kelas, tapi juga tentang membuka pintu-pintu kesempatan dan memberikan harapan. Oleh karena itu, mari kita semua berperan aktif dalam memajukan pendidikan, memutus lingkaran setan kemiskinan, dan mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kita.
Budi Setiawan, pemerhati sosial politik alumnus FISIP Universitas Padjadjaran Bandung, mantan jurnalis media ibukota