OPINI: Pendidikan Nasional; Pendidikan Menguatkan Ketahanan Keluarga Nasional

Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya, kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan kepada anak merupakan urusan yang sangat berharga dan menempati prioritas tertinggi. Anak bagaikan permata yang tidak ternilai harganya, bila ia dididik dan dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik, sebaliknya bila ia dididik dan dibiasakan dengan perbuatan jelek, ia akan menjadi orang yang merugi dan celaka dunia akherat.

Dalam pandangan Islam, mengenai hak pendidikan anak mempunyai keterkaitan erat dengan tanggung jawab orang tua, khususnya ibu. Jika anak merupakan amanah dari Allah SWT., mendidiknya termasuk bagian dari menunaikan amanah-Nya, sebaliknya melalaikan hak-hak mereka termasuk khianat terhadap amanah Allah SWT., (Q.S An-Nisa:58).

Kata ibu dalam al-Qur’an disebut “umm” yang berasal dari akar kata yang sama dengan ummat yang artinya “pemimpin” yang dituju atau yang diteladani. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa ibu akan dapat menciptakan pemimpin-pemimpin dan bahkan dapat membina umat melalui perhatian dan keteladanannya dalam mendidik anak. Demikian juga sebaliknya, jika yang melahirkannya tidak berfungsi sebagai ibu (umm) maka akan hancur generasi-generasi selanjutnya dan tidak akan muncul pemimpin yang bisa diteladani. Selanjutnya kata “madrasah” adalah istilah kata dari bahasa Arab yaitu kata darasa-yadrusu-darsan wa durusun wa dirasatun.

Artinya terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadi usang, dan melatih. Dari pengertian ini madrasah memiliki makna tempat untuk mencerdaskan para peserta didik, menghilangkan ketidaktauan atau memberantas kebodohan peserta didik serta melatih kemampuan mereka sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Maka ibu sebagai madrasah utama bagi anak-anaknya merupakan fondamen dasar untuk menguatkan karakter dan moralitas anak.

Dalam kenyataanya fungsi-fungsi keluarga tidak berjalan dengan baik. Ironisnya justru fungsi keluarga saat ini telah bergeser jauh menjadi tempat yang membosankan bagi anak. Dan ibu tidak lagi menjadi guru yang baik bagi anak-anaknya karena alasan sibuk. Selain itu, sistem pendidikan kita lebih berfokus kepada pendidikan formal dan cenderung tanggung jawabnya dilimpahkan kepada sekolah. Sedang pihak keluarga lebih asyik memenuhi kebutuhan ekonomi. Ayah dan ibunya sibuk bekerja, sedang perhatian pendidikan anak menjadi ditelantarkan. Akibatnya, terjadi pergeseran nilai yang ada di masyarakat seperti munculnya kenakalan remaja dan masalah-masalah social lainnya.

Lihat saja judul berita ini, “Bocah SD Mengaku Bunuh Ibu Angkat”, “Tak direstui Menikah, Anak Bunuh Ibu Kandung”, “Mabuk, 6 Pemuda Perkosa Gadis Secara Bergiliran”. Judul-judul berita tersebut kerap menghiasi halaman berita baik di media elektronik maupun media cetak. Bahkan di Yogyakarta pernah dilakukan penelitian oleh Presidium SMA Kolese De Brito Yogyakarta pada tahun 1994 lalu terhadap para pelajar di sana, hasilnya menyatakan bahwa 22% pelajar di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) menyetujui hubungan seks diluar nikah. Meskipun mereka baru dalam taraf menyetujui (yang mungkin belum melakukan), namun bukan hal yang tidak mungkin jika pandangan atau persepsi merupakan pernyataan sikap pribadi-pribadi yang akan terus berlanjut menjadi perbuatan atau perilaku nyata.

Lebih-lebih menurut pakar/psikolog keadaan ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hasil penelitian terakhir, Pusat Studi Kriminologi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta menemukan 26,35 persen dari 846 peristiwa pernikahan telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah dimana 50 persen di antaranya menyebabkan kehamilan.
Jika hal di atas benar-benar terjadi, berarti merupakan suatu pertanda adanya pergeseran nilai moral pada masyarakat kita. Padahal pendidikan di Nusantara ini sudah menjadi kewajiban setiap warga negara, Universitas-universitas telah berdiri di mana-mana, sekolah-sekolah yang bertaraf internasional tidak sedikit, setiap tahun universitas-universitas meluluskan para mahasiswanya baik yang bergelar S1, S2, maupun S3. Tapi, mengapa kondisi moral masyarakat terus menurun?

Hal itu dikarenakan pendidikan selama ini sering melupakan aspek afeksi dan hanya mengandalkan aspek kognisi saja. Maka pendidikan nilai merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan oleh setiap orang baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.

Pendidikan nilai tidak bisa (hanya) diajarkan di lembaga-lembaga formal seperti sekolah atau universitas, melainkan juga ditanamkan di lembaga-lembaga in formal dan non formal. Maka, keluarga menjadi peran yang penting dalam pendidikan nilai. Sebab, keluarga adalah lingkungan yang pertama kali dikenal anak sebelum mengenal lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karenanya, dalam hubungannya dengan perkembangan anak sering dikenal dengan sebutan primary group. Mengapa? Menurut John Locke, yang berdiri disisi aliran Empiris dengan teorinya “Tabula Rasa” (Tabula = Meja, Rasa = Lilin, Tabula Rasa = Meja berlapis lilin) menyatakan bahwa anak-anak ibarat meja yang berlapis lilin atau kertas yang putih bersih tanpa goresan apapun. Karena keluarga merupakan lingkungan anak yang pertama, maka keluarga pulalah yang akan menggores pertama kali pada meja berlapis lilin atau kertas yang putih bersih tadi. Sehingga dapat kita maklumi bersama jika keluarga akan banyak menentukan kepribadian anak. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang artinya, “Setiap bayi dilaharikan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang menentukan apakah bayi tersebut akan di-Yahudi-kan, di-Majusi-kan, atau di-Nasrani-kan” (HR. Muslim). Dengan demikian seharusnya keluarga menjadi tempat yang efektif dalam pendidikan.

Melemahnya Fungsi Keluarga dalam Masyarakat
Bila kita melihat pengertian keluarga yang disampaikan oleh Friedman (1998), Murray dan Zentner (1997), serta PP No.21 tahun 1994 Bab I ayat 1, maka dapat kita fahami bahwa keluarga merupakan suatu kelompok atau unit terkecil dari masyarakat yang memiliki ikatan kebersamaan dan ikatan emosional yang sangat kuat yang di dalamnya terjadi saling mengasihi, menyayangi, dan saling memiliki satu sama lain. Apalagi jika kita melihat fungsi keluarga yang telah ditetapkan dalam PP No.21 tahun 1994 lebih aplikatif daripada fungsi keluarga yang telah ditetapkan oleh Friedman. Walaupun demikian, fungsi keluarga yang dikemukakan oleh Friedman bersifat umum; fungsi pembinaan lingkungan terwakili oleh fungsi kesehatan.

Fungsi cinta kasih dan fungsi melindungi dan menumbuhkan rasa aman serta kehangatan terangkum dalam fungsi afektif.
Fungsi agama dalam pendidikan keluarga tidak hanya berperan dalam tataran afeksi semata, tapi juga berperan dalam pembinaan yang bersifat kognitif dan psikomotorik. Karena dalam Pendidikan Islam semua aspek dalam pendidikan harus dikembangkan. Sebagai contoh, dalam aspek kognitif, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk terus meningkatkan keilmuan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa “Allah akan mengangkat beberapa derajat kepada orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian” (Q.S. Al-Mujadilah:11). Dalam aspek psikomotorik, Islam memerintahkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk melaksanakan ibadah haji (Q.S. Ali Imran: 97), tentunya melaksanakan ibadah haji selain mampu secara materi, juga harus mampu dalam fisik, sebab ibadah haji ini sangat membutuhkan ketahanan fisik yang prima. Sedang dalam aspek afektif, seperti Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyayangi orang yang lebih kecil dan menghormati orang yang lebih besar dari kita (HR. Abu Daud, 1952, 2:583). Fungsi keagamaan ini menjadi hal sangat penting dalam pendidikan anak dalam keluarga, karena agama dalam hal ini Islam merupakan suatu sistem kehidupan yang komprehensif.

Pendidikan dalam Keluarga, Penting!
Untuk memecahkan permasalahan di atas maka kita harus kembali pada pendidikan. Tentunya, pendidikan bukan hanya tugas dari sekolah atau perguruan tinggi, tapi juga semua komponen masyarakat. Komponen yang pertama dan paling dekat dengan subjek didik adalah keluarga seperti telah dijelaskan di atas.

Dewasa ini, pendidikan seolah-olah adalah tugas sekolah saja. Sehingga para orang tua akan menyalahkan pihak sekolah jika putra-putrinya berperilaku tidak baik, atau orang tua banyak yang mengharapkan meningkatnya kecerdasan intelektual setelah putra-putrinya belajar di sekolah favorit. Sebaliknya, sistem pendidikan yang dijalankan oleh sekolah hanya mengutamakan kecerdasan intelektual. Ini mengakibatkan suatu pemahaman jika seseorang ingin sukses maka ia harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi dan itu hanya diperoleh di sekolah, bukan di masyarakat atau keluarga. Akibatnya, fungsi keluarga hanya sebatas merawat kesehatan, pemenuhan kebutuhan ekonomi, reproduksi. Fungsi-fungsi lain tidak berjalan bahkan dilupakan. Padahal pendidikan itu merupakan bagian yang integral dan terjalin dengan kehidupan manusia. Artinya pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Sekolah hanya satu dari tiga lembaga yang harus berjalan dalam pendidikan.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh individu dan lembaga pertama yang memberikan pendidikan. Hal itu dikuatkan dengan adanya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 yang menjelaskan bahwa pendidikan keluarga merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup. Maka pendidikan dalam keluarga tidak bisa dilupakan bahkan harus menjadi faktor pendorong bagi perkembangan kepribadian individu, masyarakat dan bangsa.

Berkaitan dengan pendidikan keluarga, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa: Pendidikan keluarga termasuk pendidikan jalur luar sekolah merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup. Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan.

Dengan demikian, keluarga merupakan tempat dimana dasar-dasar pendidikan berupa nilai-nilai agama, budaya, moral serta aturan main dalam pergaulan baik sekupnya di rumah, sekolah maupun masyarakat ditanamkan.

Sehubungan dengan pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan anak di dalam lingkungan keluarga dijelaskan Allah SWT sesuai dengan firman-Nya di dalam surah At-Tahrim ayat 6 yang artinya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (At-Tahrim: 6).

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga Pendidikan di Indonesia semakin maju dan lebih beradab. Semoga Keluarga Indonesia Semakin Kuat dan Berakhlak.

Dr. Dede Rubai Misbahul Alam, M.Pd alias Kang Dadhe Alfath, Penulis adalah Ketua Dewan Masjid Indonesia, Sekjen ICMI Kabupaten Subang

Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari TINTAHIJAU.COM, Klik Disini dan Klik ini