Di tengah bentang bukit Tepi Barat, kota kecil bernama Sinjil mulai kehilangan keindahannya. Sinjil terletak 15,5 kilometer (9,6 mil) di timur laut Ramalla. Keindahan kota tersebut digambarkan dalam kalimat, ‘a small village with a beautiful historic core’ (sebuah desa kecil dengan inti bersejarah yang indah).
Sekitar 6.000 penduduk kota di Palestina itu kini hidup dalam kondisi yang disebut sebagai “ruang sosial terpenjara.” Bukan karena tembok penjara klasik, melainkan karena pagar kawat baja setinggi enam meter dan sepanjang 1.500 meter yang didirikan otoritas Israel di pinggiran kota. Pagar itu bukan hanya memotong ladang, jalan, dan rumah, tetapi juga memisahkan manusia dari ruang sosialnya.
Ruang sejatinya bukan sekadar lokasi geografis, tetapi hasil dari praktik sosial yang membentuk makna, identitas, dan keberlanjutan hidup bersama. Ketika ruang itu dibatasi secara paksa—seperti yang kini terjadi di Sinjil—maka yang terbelah bukan hanya peta, tetapi kehidupan itu sendiri.
Seorang petani setempat, Walid Fuqaha, menggambarkan perubahan drastis rutinitasnya: perjalanan ke ladang yang dulunya hanya beberapa menit kini bisa memakan waktu lebih dari setengah jam, jika pun diizinkan lewat. “Kami adalah tahanan di tanah kami sendiri,” katanya.
Inilah inti dari kekuasaan modern yang akhirnya kita pahami: kekuasaan tidak hanya bekerja lewat senjata atau hukum, tetapi juga lewat pagar, gerbang, dan jalur yang diputus. Ruang dijadikan alat kontrol, dan mobilitas dijadikan komoditas yang hanya bisa diakses dengan izin militer. Bagi warga Sinjil, everyday life mereka—dipisahkan dari ladang, dari kerabat, dari pasar—menghasilkan rasa kehilangan yang tak hanya bersifat fisik, tetapi juga simbolik dan eksistensial.
Pembangunan pagar itu pun tak berdiri sendiri. Ia bagian dari strategi yang lebih besar—apa yang disebut sebagai “kolonisasi ruang.” Tindakan membiarkan sapi-sapi milik pemukim Israel merusak tanaman warga Sinjil, seperti yang disampaikan Fuqaha, memperlihatkan bentuk tekanan non-militer yang dirancang untuk mengusir secara perlahan.
Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang tidak selalu berdarah, tapi berlangsung terus-menerus dan merusak kemampuan masyarakat untuk bertahan. Kekerasan struktural adalah istilah yang diperkenalkan oleh Johan Galtung (1969) dan para teolog pembebasan pada 1960-an yang merujuk pada struktur sosial—seperti ekonomi, politik, hukum, agama, dan budaya—yang menghambat individu atau kelompok untuk mencapai potensi maksimal mereka.
Berbeda dengan kekerasan fisik yang tampak jelas, kekerasan struktural bersifat tersembunyi dan muncul melalui ketimpangan akses terhadap sumber daya, kekuasaan politik, pendidikan, layanan kesehatan, dan keadilan hukum.
Sebagian rumah warga kini terletak di luar pagar, terisolasi dari komunitasnya. Kota yang dulunya menjadi pusat aktivitas komersial kini menjadi “kota hantu”, sebagaimana dikatakan oleh aktivis lokal Ayed Ghafri. Hal ini menegaskan bahwa pendudukan bukan hanya mencaplok tanah, tetapi juga memproduksi lanskap ketakutan, keterasingan, dan ketidakberdayaan (powerless).
Namun, di balik pagar dan tekanan itu, suara perlawanan—bukan dalam bentuk senjata, tetapi dalam bentuk narasi—masih tetap ada. Ketika warga mengatakan bahwa pagar itu “bukan untuk keamanan, tapi untuk mencekik kami,” mereka menolak makna yang dipaksakan oleh pendudukan. Mereka menciptakan narasi tandingan, mempertahankan martabat, dan menolak dilupakan.
Jika kita refleksi corak dari kekuasaan, kita jadi mafhum bahwa kekuasaan acapkali berusaha mengatur makna dan memonopoli ruang. Tapi sejarah menunjukkan bahwa ruang dan makna juga bisa diperebutkan. Tembok bisa membatasi tubuh, tapi tidak selalu bisa membungkam ingatan, solidaritas, dan harapan. Sinjil bukan sekadar nama kota kecil, akan tetapi ia adalah simbol dari perjuangan ruang, identitas, dan hak untuk hidup sebagai manusia yang bermartabat.
Satu hal yang harus menjadi perhatian Israel adalah bagaimana membangun persahabatan dengan tetangga terdekatnya, yakni Palestina dan ‘tetangga jauh’-nya, yakni masyarakat dunia.
Agar diterima, tentu saja prinsip-prinsip persahabatan haruslah mereka perhatikan, seperti sikap saling berbagi. Saling berbagi, menurut Kennedy (1986) adalah ‘dasar konstitutif dari persahabatan’. Nah, dalam konteks ini, bagaimana bisa satu dan lainnya berbagi jika kedua pihak dipisahkan oleh tembok tinggi?
Saya pernah bertemu dengan orang Yahudi di beberapa negara. Dalam pertemuan tersebut, semangat untuk berbagi pengetahuan (knowledge sharing)—sebagai salah satu hal yang dibagi—berjalan dengan baik, bahkan terbuka.
Dua orang tersebut menunjukkan sikap saling terbuka. Mungkin tidak sepenuhnya sama dengan konteks Sinjil, akan tetapi sikap saling terbuka memudahkan kita untuk memahami posisi masing-masing, dan itulah standing point untuk mulai memikirkan apa yang dapat dikolaborasikan untuk kepentingan bersama, misalnya untuk mencapai dunia yang damai.
Di era sekarang, membangun jembatan jauh lebih relevan daripada mendirikan tembok. Seperti ditegaskan Todd Miller dalam Build Bridges, Not Walls, dan Martin Luther King Jr yang menyerukan hal serupa, pendekatan ini seharusnya menjadi pijakan Israel dalam menghadapi warga Palestina di Sinjil. Tanpa upaya membangun jembatan pemahaman, kehidupan yang damai jadi sulit untuk didapatkan.
Yanuardi Syukur, Penulis adalah Peneliti Pusat Riset Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia