OPINI: PUASA MENUMBUHKAN NILAI PROFETIK

Beberapa tradisi ramadan di Yogyakarta. Foto: Pondokyatim.or.id

Ibadah puasa di bulan Ramadan adalah salah satu rukun Islam, sebagaimana rukun Islam lainnya, puasa juga terdapat berbagai macam sisi positif bagi umat Islam yang menunaikannya. Puasa di bulan ramadan tidak hanya sekedar menahan hal-hal yang membatalkan puasa, akan tetapi lebih dari itu seorang muslim harus mampu menjaga berbagai hal yang dapat merusak dan mengurangi kesempurnaan pahala puasa ramadan. Inilah puasa yang substansial, bukan puasa yang formalitas hanya menahan lapar dan haus.

Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW: Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan suka mengerjakannya, maka Allah tidak memandang perlu orang itu meninggalkan makan dan minumnya.” [HR. al-Khamsah]. Agar puasa ramadan benar-benar substansial maka salah satu gagasan yang disampaikan penulis adalah memahami dan memegang teguh nilai-nilai profetik.

Profetik (prophetic) berarti kenabian. Dalam bahasa yunani disebut sebagai “prophetes” merujuk pada orang yang berbicara awal atau memproklamasikan dirinya, bisa juga prophetes diartikan sebagai orang yang berbicara soal masa depan. Nilai profetik pertama kali digagas oleh Filsuf Perancis Roger Garaudy dengan filsafat profetiknya, Mohammad Iqbal dari India (Pakistan), dari Indonesia ada Kuntowijoyo dengan teori sosial profetiknya.

Menurut Kuntowijoyo terdapat tiga pilar utama dalam ilmu sosial profetik yaitu; Pertama, amar ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. Kedua, nahi munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan dari keburukan dan ketiga, tu’minuna bilah (transendensi) yaitu dimensi keimanan kepada Tuhan. Secara normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo didasarkan pada Surat Ali-Imran ayat 110.

Menumbuhkan nilai amar ma’ruf (humanisasi) ketika berpuasa dapat dilatih dan diraih dengan memberi makanan untuk berbuka puasa, memperbanyak sodakoh, infaq serta menunaikan zakat fitri di akhir ramadan. Dalam konteks humanisasi, Nabi telah mencontohkan bahwa saat ramadan, kedermawanan Nabi melebihi tiupan angin. Selanjutnya, untuk menumbuhkan nilai nahi munkar (liberasi) saat berpuasa dapat meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat sehingga mengurangi kesempurnaan pahala puasa ramadan.

Hal-hal tersebut seperti berbicara dan berbuat hal-hal yang tidak sesuai ajaran Islam, lebih spesifiknya seperti mencela, menyebar hoax, membuat gaduh, menyebar fitnah, berkelahi dan hal-hal lain yang tercelan menurut Islam. Nilai transendensi dapat dilatih dan diraih dengan niat puasa karena Allah, puasa yang benar-benar diniatkan karena keimanan kepada Allah. Keharusan niat puasa yang ikhlas karena puasa ramadan adalah ibadah yang langsung ditujukan kepada Allah.

Sebagaimana hadits Dari Abu Hurairah RA., Rasulullah SAW., bersabda: “Allah ‘Azzawajalla berfirman -dalam hadits qudsi: “Semua amal perbuatan anak Adam-yakni manusia- itu adalah untuknya, melainkan berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasan dengannya. Dari hadits tersebut dengan mudah dapat dipahami bahwa jika seseorang berniat puasa bukan karena Allah, maka tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.

Dengan menumbuhkan nilai profetik (humanisasi, liberasi dan transendensi) saat puasa ramadan, harapannya dapat membantu muslim untuk mencapai derajat takwa setelah selesai ramadan. Dan semoga puasa ramadan tahun ini benar-benar melatih kita untuk menumbuhkan nilai-nilai profetik yang nantinya akan menjadi atribut sebagai muslim sejati.

Hermawan, M.Pd.I, Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo

Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari TINTAHIJAU.COM, Klik Disini dan Klik ini