Saat Islam berkuasa di benua Eropa dikisaran tahun 711 masehi hingga tahun 1492 masehi, tercatat dalam sejarah ada seorang Gubernur yang ditugaskan oleh ke Khalifahan Islam, yang bernama Sulthan Abdurrahman An-nashir. Bersamaan dengan kepemimpinannya hidup juga seorang ulama besar yang bernama Syaikh Mundzir bin Zaid.
Abdurrahman An-nashir adalah seorang pemimpin yang memiliki obsesi dan ambisi yang besar dalam membangun infrastruktur negara, ia tak pernah berhenti untuk terus membangun. Kota-kota besar direvitalisasinya, gedung-gedung tinggi ia dirikan, jalan-jalan dibangunnya, ia mengadakan sarana transfortasi darat dan laut, hingga sektor-sektor ekonomi dan bisnis menjadi fokus program kepemimpinannya.
Karena kesibukan Abdurrahman An-nashir, ia mulai tidak sempat untuk sholat berjamaah di mesjid yang biasa ia sholat berjamaah dengan kaum muslimin. Bahkan jumat pertama di bulan itu, ia pun tidak terlihat ikut sholat jumat di mesjid itu. Hingga jumat kedua dan ketiga, kaum muslimin tak melihat sang sulthan membersamai jumat-jumat mereka.
Syaikh Mundzir bin Zaid turut serta memperhatikan aktivitas Sulthan Abdurrahman An-nashir. Hingga pada saat jumat ke empat, sang Syaikh terjadwalkan menjadi Khotib Jumat di mesjid kaum muslimin, dan pada jumat tersebut terlihat Sulthan Abdurrahman An-nashir hadir bersama jamaah.
Dalam khutbahnya Syaikh Mundzir tak panjang beliau berkhutbah, hanya membacakan Firman Allah SWT dalam Surat Asy-Syu’aro : 128-131 yang berbunyi:
“Apakah kamu mendirikan istana-istana pada setiap tanah yang tinggi untuk kemegahan tanpa ditempati. Dan kamu membuat benteng-benteng dengan harapan kamu akan hidup selamanya. Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu lakukan secara kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku”.
Seluruh jamaah merasa bahwa khutbah sang Syaikh tertuju kepada Sultan Abdurrahman An-nashir. Hingga ketika selesai jumatan, Sulthan Abdurrahman An-nashir bertanya kepada anaknya yang bernama Hakam, “wahai anakku, bagaimana pendapatmu tentang khutbah Syaikh Mundzir tadi?”. Hakam menjawab: “Wahai ayahku, Syaikh Mundzir adalah orang yang sangat berbahaya, jika dia dibiarkan ada di negeri kita, maka dia akan mengganggu kepemimpinan ayah. Oleh karena itu keluarkan dia dari negeri kita”. Abdurrahman An-nashir hanya tersenyum mendengarkan jawaban anaknya, hingga ia berkata: “Wahai anakku, aku tidak tersinggung dengan khutbah Syaikh Mundzir, beliau adalah ulama yang sholeh, oleh karena itu, jika Syaikh MundIr menjadi imam di mesjid manapun, maka engkau harus menjadi makmumnya”.
Selang beberapa tahun lamanya, negeri Abdurrahman An-nashir mendapatkan ujian yang berat; kekeringan hampir di seluruh negeri, hujan sudah lama tidak turun, makanan sudah mulai langka, air minum mulai tidak ada dan rakyat mulai banyak kelaparan.
Rakyat berduyun-duyun mendatangi sulthan dan memintanya untuk memimpin sholat Istisqo(meminta hujan) dan berdoa bersama. Namun Sulthan Abdurrahman An-nashir, malah ia merasa tak layak untuk memimpin sholat istisqo dan memimpin doa berjamaah. Kemudian ia menyuruh pengawalnya untuk meminta Syaikh Mundzir bin Zaid agar berkenan menjadi imam sholat istisqo dan berdoa bersama.
Berangkatlah pengawal sulthan menemui Syaikh dan menyampaikan pesan tersebut, Syaikh bertanya; ” Apa yang selama ini dilakukan oleh pemimpinmu?”. Pengawal itu menjawab: “Setelah Syaikh Mundzir menyampaikan khutbah jumat sekian tahun yang lalu, Sulthan banyak merenung dan rajin bangun malam untuk sholat, setiap malam Shultan selalu merintih dalam sujud dan doa-doanya.. sampai kami sempat mendengar suara rintihan doa Sulthan.. Ya Allah… jika semua ini adalah kesalahan, dosa dan maksiat aku kepadamu, jangan Engkau timpakan musibah berat kepada rakyatku…
Syaikh berkata: “Wahai pengawal Sulthan, insya Allah aku akan memimpin sholat istisqo bersama rakyat, tapi titip sampaikan pesan saya untuk pemimpinmu: “Bawalah tetesan air hujan ini dengan tanganmu… Karena turunnya hujan sangat bergantung kepada tangan-tangan para pemimpinmu”.
Saat Syaikh Mundzir memimpin sholat istisqo dan Sultan Abdurrahman An-nashir menjadi makmum di belakangnya, hingga saat doa mulai dibacakan Syaikh, tiba-tiba hujan turun begitu derasnya, yang kemudian membuat pepohonan kembali menghijau, sumur-sumur kembali berisi air, tanah yang kering kerontang kembali menjadi subur.
Begitulah jika pemimpin bisa menerima nasihat seorang Syaikh, memuliakan akan kedudukannya dan mau memperbaiki diri atas segala kesalahannya, maka pertolongan Allah akan selalu menyertainya. Wallohu alam bis showab
KH. Ade Sugianto SIP. SAN, Penulis Ketua YPI Al-Ukhuwah Pagaden Subang