OPINI: Saat Pendidikan Tinggi Dibilang Kebutuhan ‘Tersier’

Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Tjahjandarie, mengeluarkan pernyataan yang mengundang kontroversi. Menanggapi mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN), ia menyebut bahwa kebutuhan kuliah di perguruan tinggi saat ini bersifat tersier (Kompas.com, 19/05/2024)

Pernyataan ini tentu saja memicu reaksi keras masyarakat. Pandangan tersebut cenderung intuitif dan tidak berbasis fakta sosial yang menggambarkan kondisi nyata di masyarakat.

Istilah pendidikan tersier secara teknis merujuk pada pendidikan setelah tingkat menengah. Namun, penggunaannya dalam konteks ini tidak tepat. Ketika masyarakat bergumul dengan mahalnya biaya pendidikan, menyebut pendidikan tinggi sebagai “tersier” hanya menambah kebingungan dan frustrasi.

Pandangan ini tampak mengabaikan kenyataan bahwa bagi banyak keluarga di Indonesia, pendidikan tinggi adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik.

Pernyataan Tjitjik tampaknya tidak dilandasi oleh data konkret. Pandangan intuitif seperti ini cenderung mengabaikan kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa biaya pendidikan tinggi negeri yang melambung telah menjadi hambatan besar bagi banyak mahasiswa dan keluarganya. Pandangan yang tidak didukung oleh analisis data hanya akan memperparah ketidakpuasan publik.

Akses ke pendidikan tinggi adalah hak yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang mampu membayar biaya mahal. Pendidikan tinggi membuka pintu bagi individu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, meningkatkan taraf hidup, dan berkontribusi pada pembangunan negara. Namun, tingginya biaya pendidikan saat ini membuat impian ini sulit terwujud bagi banyak orang.

Fakta sosial di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat sangat menghargai pendidikan tinggi. Bagi banyak keluarga, pendidikan tinggi bukan sekadar prestise, tetapi merupakan investasi penting untuk masa depan. Melalui pendidikan tinggi, individu berharap dapat memperbaiki kualitas hidup dan keluar dari jerat kemiskinan. Sayangnya, hanya sebagian kecil populasi yang bisa mengakses pendidikan tinggi tanpa beban finansial yang berat.

Kesenjangan akses terhadap pendidikan tinggi masih menjadi masalah utama di Indonesia. Banyak siswa berbakat terpaksa mengubur mimpinya melanjutkan pendidikan karena kendala ekonomi. Pernyataan yang menganggap pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang tersier dan eksklusif menunjukkan ketidakpekaan terhadap kondisi riil masyarakat.

Kebijakan pendidikan yang efektif harus didasarkan pada data dan analisis mendalam. Kebijakan yang hanya berdasar pada persepsi intuitif tanpa dukungan fakta cenderung tidak efektif dan bisa memperburuk keadaan.

Pemerintah harus melakukan analisis komprehensif terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi akses dan biaya pendidikan tinggi. Data tentang kemampuan ekonomi mahasiswa, biaya operasional perguruan tinggi, dan efektivitas bantuan pendidikan harus dianalisis untuk merumuskan kebijakan yang tepat.

Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memperluas program beasiswa dan bantuan finansial bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan pengurangan biaya pendidikan melalui subsidi atau program pembiayaan pendidikan yang lebih terjangkau. Dengan kebijakan yang didasarkan pada data, akses terhadap pendidikan tinggi bisa menjadi lebih inklusif dan merata.

Pernyataan publik oleh pejabat negara harus sensitif terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Menyebut pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang tersier tanpa mempertimbangkan realitas kehidupan banyak orang dapat dianggap tidak sensitif dan kurang empati. Pejabat publik harus selalu berupaya memahami dan merespons kebutuhan masyarakat dengan cara yang tepat dan berdasarkan fakta.

Transparansi dan akuntabilitas dalam pembuatan kebijakan pendidikan sangat penting. Masyarakat perlu mengetahui dasar dari setiap pernyataan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan mereka.

Dari pernyataan pejabat kementerian di atas seakan mencitrakan apakah pendidikan tinggi adalah hak atau privilege kelompok masyarakat tertentu?. Di satu sisi, pendidikan tinggi dapat dianggap sebagai hak yang harus diakses oleh semua orang tanpa terkecuali. Di sisi lain, biaya tinggi yang dikenakan oleh banyak perguruan tinggi menunjukkan bahwa pendidikan tinggi sering kali diperlakukan sebagai privilege yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar.

Dalam situasi ini, pemerintah harus berperan sebagai pengatur yang adil untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua orang, bukan hanya oleh mereka yang mampu secara finansial.

Tantangan besar di bidang pendidikan tinggi di Indonesia adalah bagaimana membuatnya lebih inklusif dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, pernyataan yang menganggap pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang tersier tampak tidak membantu. Justru, pemerintah harus berfokus pada mencari solusi nyata untuk mengatasi masalah biaya pendidikan yang tinggi.

Ke depan, pemerintah perlu menunjukkan komitmen nyata untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi tidak lagi menjadi beban berat bagi masyarakat. Program beasiswa, subsidi biaya pendidikan, dan kebijakan pembiayaan yang adil harus menjadi prioritas utama.

Dengan pendekatan yang berbasis data dan sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, kita dapat memastikan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia tidak lagi menjadi hak istimewa bagi sebagian kecil populasi, tetapi menjadi hak dasar yang bisa dinikmati oleh semua orang.

Budi Setiawan, Penulis adalah mantan wartawan, kini pemerhati sosial dan politik alumnus FISIP Universitas Padjadjaran Bandung.

Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari TINTAHIJAU.COM, Klik Disini dan Klik ini