Langit pagi itu masih redup ketika suara alarm ponsel berbunyi nyaring di sudut kamar kecil berukuran sempit. Affan Kurniawan, pemuda berusia 21 tahun, mengusap wajahnya pelan. Wajah letih dengan mata sembab karena kurang tidur, tapi semangatnya tidak pernah padam. Seperti biasa, ia harus segera berangkat kerja.
“Fan, sudah bangun, Nak?” terdengar suara ibunya dari dapur.
Affan tersenyum meski tubuhnya berat. “Iya, Bu. Sebentar lagi berangkat.”
Ibunya, seorang perempuan paruh baya dengan tubuh yang mulai rapuh karena usia, menyodorkan secangkir teh hangat di meja ruang tengah. Rumah kontrakan mereka berukuran 3 x 11 meter itu begitu sederhana. Hanya ada ruang tamu kecil yang sekaligus berfungsi sebagai kamar tidur, dapur mungil di belakang, serta satu kamar sempit untuk adiknya.
“Minum dulu, Fan. Jangan langsung keluar. Perut kosong bikin cepat lelah,” kata sang ibu penuh kasih.
Affan mengangguk. Ia tahu betul, ibunya selalu mengkhawatirkannya. Ayahnya bekerja serabutan, kadang membantu di pasar, kadang ikut mengangkut barang. Kakaknya, Fikri, juga driver ojek online. Sementara adiknya, Aisyah, masih duduk di kelas tiga SMP. Di rumah itu, Affan dikenal paling bisa diandalkan.
“Bu, doakan Affan ya. Biar rezekinya lancar hari ini,” ujarnya sambil meraih helm dan jaket hijau khas ojol.
Ibunya menepuk bahunya lembut. “Tentu, Nak. Kamu tulang punggung keluarga ini. Hati-hati di jalan.”
Jam di dinding menunjukkan pukul 05.30. Dengan motornya, Affan meninggalkan rumah kontrakan, menyusuri jalanan bagian barat kota yang masih sepi. Udara pagi terasa dingin, tapi semangatnya mengalahkan semua rasa lelah.
Hari-hari Affan selalu sama. Pagi ia berburu penumpang, mengantarkan orang ke kantor atau sekolah. Siang hari ia berhenti sejenak di warung makan, sekadar melepas penat sambil menunggu waktu salat. Setelah itu ia kembali ke rumah, istirahat sebentar, lalu sorenya turun lagi ke jalan.
“Fan, jangan terlalu dipaksa. Kamu masih muda, nanti sakit,” ucap kakaknya Fikri suatu kali.
Affan hanya tersenyum. “Kalau kita nggak kerja keras sekarang, siapa lagi yang bantu Ibu sama Aisyah?”
Kedua bersaudara itu memang sama-sama bekerja sebagai driver ojol, tapi Affan selalu terlihat lebih gigih. Ia tidak pernah mengeluh, meski terkadang penghasilannya tidak seberapa.
Hari itu, setelah magrib, Affan kembali menghidupkan aplikasi. Ia duduk di atas motor di tepi jalan, menatap layar ponsel. Tidak lama, bunyi notifikasi masuk: Orderan makanan. Lokasi penjemputan tak jauh, tapi alamat pengantaran ada di tengah kota.
“Alhamdulillah, orderan pertama malam ini,” gumamnya.
Ia segera menyalakan motor, melaju menembus jalanan kota yang mulai ramai. Di tangannya ada bungkusan makanan yang harus segera sampai ke pelanggan. Namun siapa sangka, perjalanan malam itu menjadi perjalanan terakhir bagi Affan.
Saat memasuki pusat kota, jalan tiba-tiba macet total. Klakson kendaraan bersahutan, teriakan orang-orang terdengar di udara. Rupanya ada aksi demonstrasi yang sedang berlangsung. Massa memenuhi jalan, membawa poster dan berteriak lantang.
Affan menepikan motornya, mencoba mencari jalan lain, tapi semua arah tertutup. Ia menarik napas panjang. “Ya Allah, gimana ini. Pesanan bisa telat.”
Beberapa driver ojol lain juga tampak kebingungan. Mereka hanya bisa menunggu. Di tengah kerumunan itulah, suara sirene keras tiba-tiba terdengar. Bukan Ambulan, melainkan kendaraan aparat kemanan dengan lampu menyala, melaju ugal-ugalan menembus kerumunan.
“Fan, awas! Minggir!” teriak seseorang dari belakang.
Namun semuanya terjadi terlalu cepat. Motor Affan terseret, tubuhnya terpental ke jalan. Dalam sekejap, kendaraan berlapis baja itu menabrak dan melindas tubuh mudanya.
“Ya Allah! Ojek kena tabrak!” teriak massa.
Ratusan demonstran yang melihat kejadian itu langsung murka. Mereka berlari mengejar kendaraan Aparat kemanan, melempari dengan batu, kayu, apa saja yang ada di tangan. Suasana berubah kacau. Suara jeritan bercampur tangis.
Di tengah hiruk pikuk, beberapa orang dengan sigap mengangkat tubuh Affan yang sudah berlumuran darah. Helmnya pecah, napasnya tersengal.
“Cepat! Bawa ke rumah sakit!” ujar seorang pria dengan wajah panik.
Ambulans melaju kencang. Di dalamnya, Affan berbaring dengan tubuh penuh luka. Matanya terbuka setengah, bibirnya bergetar pelan.
“Bu… jangan nangis… Affan pulang…” bisiknya lirih, meski tak ada ibunya di sana.
Sesampainya di rumah sakit pusat kota, tim medis langsung membawa Affan ke ruang gawat darurat. Namun takdir berkata lain. Luka parah di bagian dada dan kepala membuat tubuh mudanya tak lagi mampu bertahan.
Beberapa menit setelah upaya medis, suara mesin monitor berhenti berbunyi. Garis lurus di layar menjadi saksi. Affan Saktiawan, pemuda 21 tahun, pengemudi ojek online yang bekerja keras demi keluarga, telah pergi untuk selamanya.
Kabar itu segera sampai ke keluarganya. Fikri berlari-lari di lorong rumah sakit, wajahnya pucat. Di belakangnya, ibu mereka dipapah oleh beberapa tetangga.
“Affan… mana Affan, Nak?!” jerit ibunya begitu sampai.
Saat pintu kamar dibuka, tubuh Affan sudah terbujur kaku, ditutupi kain putih. Tangisan pecah memenuhi ruangan itu.
“Ya Allah… kenapa harus Affan, Nak? Kamu anak baik, patuh sama orangtua… Kenapa secepat ini Engkau ambil?” suara ibunya terisak, tubuhnya gemetar menahan duka.
Fikri jatuh berlutut di samping adiknya. Ia menggenggam tangan Affan yang dingin. “Fan… kamu janji kita kerja bareng, bantu keluarga bareng… Kenapa ninggalin aku sendirian?”
Aisyah, sang adik, menangis histeris di pelukan tetangganya. “Mas… jangan tinggalin Aisyah… siapa yang anterin Aisyah sekolah nanti? Siapa yang beliin buku buat Aisyah?”
Tangisan itu mengguncang hati semua orang yang ada di sana. Tidak ada satu pun yang bisa menahan air mata.
Berita tentang Affan menyebar cepat. Media meliput, publik marah. Sebuah kendaraan Aparat Keamanan menabrak seorang driver ojol hingga meninggal.
Keluarga Affan tidak tinggal diam. Dengan suara bergetar, Fikri menyampaikan tuntutannya.
“Kami menuntut aparat dan institusi bertanggung jawab. Adik saya bukan korban pertama, tapi semoga ini jadi yang terakhir. Jangan ada lagi Affan lain yang mati sia-sia di jalan.”
Ibunya menangis di sampingnya. “Affan masih muda… dia tulang punggung kami. Bagaimana nasib kami sekarang?”
Pemakaman Affan berlangsung sederhana. Ratusan driver ojol datang, membawa bunga, mengenakan jaket hijau mereka. Mereka berdiri berjejer, memberi penghormatan terakhir.
“Affan bukan hanya teman kerja, tapi juga saudara bagi kami semua,” ucap salah satu dari mereka.
Ketika liang lahat ditutup tanah, ibunya kembali menangis pilu. “Nak… Ibu ikhlas, tapi hati Ibu hancur. Kamu terlalu cepat pergi…”
Semua orang di sana menangis. Tak ada yang mampu menguatkan diri melihat seorang ibu kehilangan anaknya yang begitu berbakti.
Kematian Affan meninggalkan duka mendalam. Ia bukan sekadar seorang pengemudi ojek online, melainkan penopang harapan keluarga kecilnya.
Rumah kontrakan 3 x 11 meter itu kini terasa kosong tanpa suaranya. Tidak ada lagi tawa Affan, tidak ada lagi langkah paginya saat berangkat kerja, tidak ada lagi doa lirihnya sebelum menyalakan motor.
Namun satu hal yang pasti, perjuangan Affan akan selalu dikenang. Sebuah pelajaran tentang keteguhan hati seorang anak muda yang rela mengorbankan dirinya demi keluarga.
Jakarta, 29 Agustus 2025
Idi Darusman






