JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, mengungkapkan kekecewaannya terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi), khususnya terkait revisi Undang-Undang KPK yang dilakukan pada tahun 2019. Ia menilai kebijakan tersebut melemahkan lembaga antikorupsi yang selama ini berperan penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dalam pernyataannya yang dikutip dari YouTube Kompas TV pada Selasa (4/2/2025), Abraham mengungkapkan bahwa kekecewaannya serta sejumlah rekannya bermula ketika Jokowi mengesahkan revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019. Keputusan tersebut memicu reaksi keras dari masyarakat, termasuk aksi demonstrasi besar-besaran yang melibatkan mahasiswa.
“Waktu itu semua reaksi publik, rakyat, menentang, sehingga mahasiswa turun ke jalan. Itulah yang disebut reformasi dikorupsi. Beberapa mahasiswa meninggal, dan itu dicuekin,” ujar Abraham.
Menurutnya, pengorbanan mahasiswa yang gugur dalam aksi demonstrasi seolah tidak dihargai, karena revisi UU KPK tetap diberlakukan tanpa adanya pertimbangan ulang.
Abraham juga mengingatkan bahwa saat gelombang demonstrasi berlangsung, Jokowi sempat berjanji akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menanggapi kritik masyarakat terhadap revisi UU KPK.
“Pada saat demo besar-besaran, masih sempat lho Pak Jokowi berkomentar di depan umum, bahwa okelah, kita akan mengakomodir kritik-kritik masyarakat dengan cara mengeluarkan Perppu,” kenangnya.
Namun, janji tersebut tidak terealisasi, dan UU KPK hasil revisi tetap diberlakukan. Abraham menilai bahwa kebijakan tersebut berdampak besar terhadap internal KPK, melemahkan institusi tersebut, serta memungkinkan masuknya orang-orang yang tidak berintegritas ke dalam lembaga antikorupsi.
Lebih lanjut, Abraham menuding bahwa Jokowi berperan dalam menempatkan sosok-sosok tertentu di KPK yang justru melemahkan lembaga tersebut. Ia menyebut bahwa pembentukan panitia seleksi pimpinan KPK berada di tangan Jokowi, sehingga orang-orang yang terpilih, termasuk Firli Bahuri dan kawan-kawan, merupakan hasil dari kebijakan Jokowi.
“Kenapa saya katakan produk Jokowi? Dia kan yang membentuk pansel memilih si Firli dan kawan-kawan. Maka sempurnalah cara melemahkan KPK. Pertama lewat UU, kemudian menyusupkan orang-orang yang tidak berintegritas,” tegasnya.
Saat ditanya mengenai kemungkinan alasan Jokowi ingin melemahkan KPK, Abraham menduga bahwa presiden merasa keberadaan KPK yang masih kuat dapat mengganggu jalannya pemerintahan.
“Kalau presiden itu bersih, maka dia akan membiarkan (KPK tetap kuat). Tapi bagi presiden yang menurut saya tanda tanya punya komitmen pemberantasan korupsi, maka dia menganggap KPK mengganggu,” pungkasnya.