MAJALENGKA, TINTAHIJAU.COM- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) menuai sorotan dari kalangan pegiat halal.
Meski membawa semangat mulia untuk menjamin makanan aman, sehat, dan sesuai syariat bagi anak-anak Indonesia, implementasinya dinilai berpotensi menimbulkan tekanan di lapangan.
Pegiat halal Alan Barok Ulumudin, M.Pd menilai kebijakan percepatan sertifikasi halal bagi dapur penyedia layanan MBG atau Satuan Pelaksana Penyedia Gizi (SPPG) bisa menjadi bumerang jika tidak diimbangi dengan pendekatan yang humanis dan terukur.
“Niat baik BGN untuk mempercepat perlindungan umat bisa berbalik menjadi pintu pelanggaran prinsip halal bila tidak dikawal dengan integritas dan sinergi kelembagaan yang kuat,” ujar Alan, Senin (27/10/2025).
Menurut Alan, BGN menargetkan seluruh dapur SPPG di Indonesia sudah bersertifikat halal pada Oktober 2025. Namun, target ambisius ini justru memunculkan kekhawatiran baru di kalangan pengelola dapur MBG. Banyak di antara mereka takut dapurnya ditutup, jatah porsi berkurang, atau bahkan tidak lagi dilibatkan dalam program MBG jika belum memiliki sertifikat halal.
“Ketakutan inilah yang berpotensi melahirkan mentalitas asal punya sertifikat, bukan benar-benar halal,” tegasnya.
Alan menilai tekanan semacam itu bisa memicu praktik menyimpang di lapangan, seperti peminjaman dokumen dapur lain, mempercepat audit tanpa kesiapan, hingga mengabaikan verifikasi bahan baku. Ia juga menyoroti potensi benturan kebijakan antara BGN dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Menurutnya, BGN fokus pada capaian cepat, sementara BPJPH memiliki prosedur baku yang melibatkan pendaftaran, audit lapangan, dan sidang fatwa kehalalan.
“Proses ini tidak bisa dipercepat hanya dengan alasan administratif. Ini soal halal — urusan dunia dan akhirat,” ujarnya menegaskan.
Alan khawatir jika komunikasi antarlembaga tidak berjalan baik, kebijakan percepatan dari satu pihak justru menafikan kewenangan pihak lain. Dampaknya bisa muncul tumpang tindih regulasi dan kekacauan di lapangan. Sebagai solusi, ia mendorong agar BGN dan BPJPH menempuh jalan sinergi, bukan percepatan yang menabrak aturan.
BGN juga perlu intens berkomunikasi dengan BPJPH dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) agar proses tetap sesuai prosedur. Alan menyarankan agar BPJPH memperkuat pelatihan bagi pendamping, auditor, penyelia, dan pelaksana halal agar percepatan tetap terjaga tanpa mengorbankan mutu. Edukasi bagi pengelola dapur pun perlu digencarkan.
“SPPG perlu dibina, bukan diancam. Motivasi mereka harus tumbuh dari kesadaran, bukan dari rasa takut,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya digitalisasi audit halal sebagai langkah efisiensi tanpa mengurangi ketelitian pemeriksaan. “Percepatan yang sehat adalah percepatan yang diiringi kejujuran dan kolaborasi, bukan ketakutan dan kepanikan,” ujarnya.
Alan menutup pandangannya dengan pesan moral bahwa kebijakan halal sejatinya adalah amanah keagamaan. Sertifikat halal bukan sekadar dokumen administratif, melainkan simbol tanggung jawab moral dan spiritual.
“Ketika BGN mengejar kecepatan, pastikan tidak menimbulkan ketakutan. Ketika SPPG berjuang lolos audit, jangan sampai mengorbankan kebenaran. Dan ketika BPJPH menjaga prosedur, pastikan prosesnya tetap inklusif dan solutif,” pungkasnya.
Menurut Alan, yang sedang dijaga bukan hanya program pemerintah, tetapi juga kepercayaan umat. “Dan kepercayaan itu, sekali rusak, tidak bisa ditebus dengan sertifikat apa pun,” tandasnya.






