‎Ancaman Industrialisasi: Akademisi Desak Pemkab Majalengka Lindungi Lahan Pertanian‎‎

Majalengka, TINTAHIJAU.COM – Pemerintah Kabupaten Majalengka diminta bersikap lebih hati-hati dalam menyikapi rencana pengembangan kawasan industri di wilayah utara, menyusul kekhawatiran semakin menyusutnya lahan pertanian produktif yang selama ini menopang ketahanan pangan daerah.‎‎

Sorotan tersebut disampaikan oleh Wakil Rektor I Universitas Majalengka, Jaka Sulaksana, menyusul tren alih fungsi lahan pasca kehadiran Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati dan perluasan kawasan Segitiga Rebana yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

‎‎“Majalengka ke depan menghadapi isu besar terkait industrialisasi. Ini harus ditanggapi dengan perencanaan tata ruang yang matang agar kawasan pertanian tetap terlindungi,” ujar Jaka, Senin (4/8/2025).

‎‎Produksi Padi Menurun Sejak Pembangunan BIJB‎‎‎

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Open Data Majalengka, produksi padi di Kecamatan Kertajati—salah satu lumbung padi utama—mengalami penurunan signifikan sejak pembangunan bandara.‎‎

Pada 2012, produksi padi mencapai 58.064 kuintal, melonjak ke 80.106 kuintal pada 2013. Namun, angka itu mulai menurun sejak 2014 bersamaan dengan pengerjaan bandara. Pada 2018, produksi turun ke 72.868 kuintal dan kembali menurun menjadi 75.816 kuintal pada 2023.

‎‎“Ini data yang menunjukkan bahwa konversi lahan nyata berdampak pada produksi pangan. Jika tidak dikendalikan, swasembada pangan lokal bisa terancam,” kata Jaka.‎‎

Dorongan Pembentukan Perda Lahan Abadi‎‎‎

Jaka menilai, kondisi tersebut menandai pentingnya kehadiran Peraturan Daerah (Perda) tentang lahan pertanian abadi sebagai perlindungan hukum atas zona pertanian produktif di Majalengka.‎‎

“Kita bicara soal ekonomi hijau, pertanian berkelanjutan, tapi belum punya instrumen hukumnya. Daerah lain seperti Yogyakarta dan Jawa Tengah sudah punya perda ini. Majalengka tertinggal,” ujarnya.‎‎

Menurutnya, keberadaan perda akan menjadi alat kontrol sosial dan politik agar alih fungsi lahan tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang, bahkan untuk proyek investasi besar sekalipun.‎‎

“Kalau sudah ada perdanya, tidak bisa sembarangan. Investasi pun harus patuh. Ini penting untuk menjaga petani agar tidak terpinggirkan setelah menjual lahannya,” tambahnya.‎‎

Usulan Green Belt dan Pengembangan Agroindustri‎‎‎

Jaka mengusulkan penerapan konsep green belt atau sabuk hijau di wilayah utara Majalengka sebagai zona pertanian permanen. Ia menyebut Kertajati, Jatitujuh, dan Ligung sebagai kawasan sentra produksi padi yang harus dilindungi.‎‎

“Daerah-daerah itu seharusnya jadi zona hijau permanen. Tidak boleh diubah menjadi kawasan industri,” tegasnya.‎‎

Meski mendukung percepatan investasi, Jaka mendorong agar pengembangan ekonomi Majalengka tetap bertumpu pada potensi lokal, khususnya pertanian. Ia menilai agroindustri adalah solusi tepat yang bisa menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lahan.

‎‎“Nilai tambah pertanian harus dikembangkan lewat industri pengolahan. Jadi bukan mengorbankan sawah, tapi justru memperkuatnya,” ungkapnya.‎‎

Peringatan Ancaman Ketergantungan Pangan‎‎‎

Jaka juga memperingatkan bahwa jika tren alih fungsi lahan terus berlangsung tanpa pengendalian, maka Majalengka akan kehilangan kemampuan swasembada dan bergantung pada pasokan dari luar daerah.‎‎

“Sekarang kita masih bisa memenuhi pangan sendiri. Tapi kalau lahan produktif habis, kita akan tergantung pada daerah lain. Itu beban baru,” pungkasnya.