JAKARTA, TINTAHIJAU.com — Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Arya Sinulingga, menegaskan bahwa Undang-Undang BUMN tidak memberikan ruang bagi direksi perusahaan pelat merah untuk melakukan tindakan korupsi. Pernyataan ini disampaikan Arya dalam acara Satu Meja The Forum yang ditayangkan Kompas TV pada Rabu (8/5/2025) malam.
“Kalau nyuri, tangkap. Jadi kalau dikatakan sekarang nyuri boleh, gampang, itu bohong. Bahwa katanya audit kurang, itu bohong juga,” tegas Arya menanggapi tudingan bahwa UU BUMN membuka peluang korupsi.
Menurut Arya, satu-satunya ketentuan yang dihapus dalam revisi UU BUMN adalah terkait sanksi pidana bagi pengambil kebijakan yang menyebabkan kerugian perusahaan tanpa adanya unsur korupsi.
“Ketika ada sebuah kebijakan diambil oleh direksi, itu tidak ada fraud-nya, tidak ada korupsinya, tapi merugikan perusahaan, itu bisa ditangkap. Jadi banyak kejadian, akhirnya orang nggak berani berinovasi,” ujarnya.
Arya lantas memberi contoh konkret untuk memperjelas maksudnya. Ia menyebut kebijakan pemangkasan dwelling time di pelabuhan dari tiga hari menjadi satu hari, yang meski menguntungkan banyak pihak dan tidak melibatkan praktik korupsi, tetap berisiko menjerat pembuat kebijakan karena menurunnya pendapatan perusahaan seperti Pelindo.
“Dari tiga hari menjadi satu hari itu membuat logistik menjadi murah. Nah, itu menguntungkan banyak pihak tapi merugikan Pelindo, pendapatannya kurang, bisa ditangkap,” jelasnya.
Arya menekankan bahwa kebijakan tersebut tidak mengandung unsur korupsi, tidak melanggar hukum, serta tidak disertai niat jahat. Namun, karena dampaknya menimbulkan kerugian finansial bagi perusahaan, pembuat kebijakan tetap bisa dijerat hukum.
“Padahal itu menguntungkan dan tidak ada korupsi di sana. Nah, itu yang dikatakan kebijakannya, padahal dia tidak ada korupsi, tidak ada niat jahat, tidak ada melanggar, hanya karena perusahaan rugi akibat kebijakannya, akhirnya ditangkap. Nah, itulah yang sekarang hilang di UU itu,” tutup Arya.