Kecelakaan maut di Cijambe, Subang, yang menewaskan tiga warga dan melukai lima lainnya, kembali membuka mata kita bahwa keselamatan di jalan raya belum benar-benar menjadi prioritas.
Peristiwa tragis ini melibatkan truk besar pengangkut air mineral yang kehilangan kendali dan menabrak beruntun hingga enam kendaraan. Di balik kabar duka itu, tersimpan pertanyaan besar: sampai kapan nyawa warga menjadi taruhan di jalanan kita?
Bupati Subang, Reynaldy Putra, sebenarnya sudah beberapa kali turun langsung ke lapangan untuk menegakkan aturan. Terakhir, pada Sabtu (27/9/2025), ia melakukan inspeksi ke salah satu perusahaan ekspedisi air minum di Kasomalang dan menemukan pelanggaran jam operasional kendaraan bertonase besar. Padahal, pemerintah daerah telah menetapkan regulasi tegas terkait jam jalan truk berat demi keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan lainnya.
Selain soal waktu operasi, Bupati juga menyoroti maraknya kendaraan angkutan yang memakai nomor polisi luar Subang. Kondisi ini bukan hanya soal administrasi, tapi juga berdampak langsung pada potensi hilangnya pendapatan daerah dari sektor pajak kendaraan bermotor. Dengan kata lain, banyak kendaraan berat yang memanfaatkan fasilitas jalan Subang, tapi tak memberikan kontribusi apa pun untuk daerah ini.
Kecelakaan di Cijambe menjadi teguran. Perawatan, pengawasan dan pelanggaran bukan persoalan kecil dan sepele. Ia bisa berujung maut. Karena itu, sidak Bupati semestinya tidak berhenti di teguran, perlu dilanjutkan dengan langkah sistematis dari semua pihak: polisi, Dishub, dan pemerintah daerah.
Perusahaan yang membandel harus dikenai sanksi tegas, sementara jalur rawan seperti Cijambe harus dilengkapi sistem keselamatan tambahan, termasuk rambu, jalur penyelamat, dan pemeriksaan kendaraan berkala.
Jalanan bukan ruang bebas tanpa tanggung jawab. Ia adalah nadi kehidupan masyarakat yang menuntut kedisiplinan kolektif. Tanpa itu, tragedi seperti di Cijambe akan terus berulang, dan setiap kali, Subang kembali berduka.






