Megapolitan

Kasus Bunuh Diri di RI Meningkat, Ahli Sebut Angka Asli Bisa Lebih Tinggi

×

Kasus Bunuh Diri di RI Meningkat, Ahli Sebut Angka Asli Bisa Lebih Tinggi

Sebarkan artikel ini

JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Kasus bunuh diri di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri mencatat, sepanjang 2024 terjadi 1.455 kasus bunuh diri di seluruh Indonesia, naik sekitar 100 kasus dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 1.350 kasus.

Provinsi Jawa Barat mencatat 72 kasus pada 2024, dengan rata-rata satu kasus setiap lima hari. Namun, angka tersebut diyakini belum mencerminkan kondisi sesungguhnya.

“Jawa Barat seharusnya lebih banyak. Mengingat jumlah penduduknya yang terbesar di Indonesia, angka ini tergolong kecil,” kata Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes RI, Imran Pambudi, kepada detikJabar, Selasa (16/9/2025).

Masih Jadi Gunung Es

Imran menyoroti adanya perbedaan signifikan antara data Polri dengan estimasi Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME). Pada 2021, Polri mencatat 620 kasus bunuh diri, hanya sekitar 14 persen dari estimasi IHME yang menyebut ada sekitar 4.300 kasus.

Perbedaan ini mengindikasikan adanya under-reporting. “Jumlah aslinya kemungkinan lebih besar. Banyak faktor yang membuat laporan tidak tercatat, mulai dari stigma hingga kendala administrasi,” jelas Imran.

Penelitian yang diterbitkan di The Lancet Regional Health Southeast Asia pada Februari 2024 juga menemukan tingkat under-reporting bunuh diri di Indonesia mencapai 859,10 persen. Artinya, jumlah sebenarnya bisa 8,5 kali lipat lebih banyak daripada laporan resmi.

Provinsi dengan angka kasus bunuh diri tertinggi periode 2016–2021 adalah Bali, Kepulauan Riau, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah.

Faktor Penyebab Didominasi Masalah Ekonomi

Pusiknas mencatat 31,91 persen kasus bunuh diri disebabkan oleh masalah ekonomi. Faktor lain yang berkontribusi antara lain kesengajaan (31 persen), masalah sosial atau salah paham (17,6 persen), serta dendam, sengketa lahan, atau penyebab lain. Sebanyak 16,1 persen kasus tidak diketahui penyebabnya.

Mayoritas pelaku bunuh diri merupakan laki-laki, dengan proporsi lebih dari 70 persen dari total kasus.

Kendala Pelaporan dan Layanan Kesehatan

Imran mengungkapkan, stigma sosial masih menjadi penghalang utama dalam pelaporan kasus bunuh diri. “Banyak keluarga yang memilih tidak melaporkan karena menganggap bunuh diri sebagai aib,” ujarnya.

Selain itu, sistem kesehatan juga berkontribusi pada kurangnya data. “Percobaan bunuh diri tidak ditanggung BPJS, sehingga ada yang memilih tidak melaporkannya,” tambah Imran.

Keterbatasan Tenaga Kesehatan Jiwa

Kemenkes saat ini tengah mengupayakan program P4K (Pertolongan Pertama pada Kasus Psikologis) agar deteksi dini masalah kesehatan jiwa dapat dilakukan secara optimal.

Meski demikian, jumlah tenaga profesional masih terbatas. Saat ini, terdapat 1.053 psikiater dan 2.917 psikolog klinis untuk melayani 286 juta penduduk. Padahal, standar WHO merekomendasikan satu tenaga profesional kesehatan jiwa untuk setiap 30 ribu orang.

“Jumlahnya masih jauh dari ideal,” kata Imran.

Upaya Pencegahan

Kemenkes mendorong masyarakat untuk memanfaatkan layanan kesehatan jiwa di puskesmas, hotline 119 ext. 8, serta konsultasi daring. Imran mengimbau agar masyarakat tidak memendam masalah sendirian.

“Orang yang sedang kalut harus punya teman curhat. Jika dipendam, pikiran bisa buntu dan merasa tidak ada pilihan lain,” tutupnya.