SUBANG, TINTAHIJAU.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan nilai kerugian ekologis yang diakibatkan oleh kasus korupsi izin usaha pertambangan PT Timah mencapai angka yang mencengangkan, yakni sebesar Rp271 Triliun.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Kuntadi, menyebutkan bahwa angka tersebut berasal dari perhitungan ahli lingkungan IPB, Bambang Hero Saharjo.
Menurut Kuntadi, berdasarkan keterangan ahli lingkungan tersebut, kerugian ekologis atau kerusakan lingkungan yang timbul dalam kasus ini sangat besar, mencapai Rp271.069.688.018.700. Hal ini diungkapkan dalam keterangan tertulis pada Selasa, 20 Februari.
Berdasarkan data yang diungkapkan oleh Bambang Hero Saharjo, terdapat 349.653,574 hektar Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar di 7 Kabupaten di Provinsi Bangka Belitung. Dari luas tersebut, sebanyak 170.363,064 hektar telah dibuka untuk kegiatan pertambangan.
Dari total luas lahan yang sudah dibuka tersebut, terdapat rincian luas galian di kawasan hutan sebesar 75.345,7512 hektar dan luas galian di luar kawasan hutan sebesar 95.017,313 hektar. Di antara lahan tersebut, sebagian berada dalam kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, taman hutan raya, dan taman nasional.
Namun, dari total luas lahan galian yang telah dibuka, hanya sekitar 88.900,462 hektar yang memiliki IUP. Sisanya, sekitar 81.462,602 hektar, tidak memiliki IUP.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7/2014, kerugian lingkungan akibat pembukaan luas lahan galian tersebut sangat signifikan. Untuk kawasan hutan, kerugian lingkungan ekologis mencapai Rp223.366.246.027.050, sementara untuk non-kawasan hutan mencapai Rp47.703.441.991.650.
Meskipun demikian, Kuntadi menegaskan bahwa nilai kerugian tersebut belum bersifat final. Penyidik masih terus menghitung potensi kerugian keuangan negara akibat aksi korupsi ini.
Kejagung telah menetapkan 16 tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di PT Timah, mulai dari Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, hingga Harvey Moeis yang dianggap sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin.
Kasus ini tidak hanya menimbulkan kerugian finansial yang besar bagi negara, tetapi juga mengingatkan akan pentingnya menjaga lingkungan hidup dari dampak negatif kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab.





