JAKARTA, TINTAHIJAU.com
Isu keadilan royalti musik di Indonesia memasuki babak baru setelah dua organisasi besar musisi, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) dan Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), akhirnya menyatukan langkah dalam memperjuangkan hak pelaku industri musik nasional.
Kedua pihak bertemu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025). Pertemuan tersebut dihadiri sejumlah musisi ternama seperti Ariel NOAH, Armand Maulana, Fadly Padi, dan Vina Panduwinata dari kubu VISI, serta Piyu Padi Reborn dan Ari Bias dari AKSI.
Pertemuan ini disebut bersejarah karena mempertemukan dua kubu yang sebelumnya sempat berbeda pandangan terkait sistem royalti. Kini, keduanya sepakat memperjuangkan transparansi, digitalisasi, dan keadilan bagi pencipta serta penyanyi di Tanah Air.
Perjuangan AKSI untuk Pencipta Lagu
Perwakilan AKSI, Piyu (Padi Reborn), menyebut RDPU tersebut sebagai langkah penting untuk memperjuangkan kesejahteraan para pencipta lagu.
“Hari ini adalah momen paling krusial dalam perjuangan AKSI. Masih banyak implementasi aturan hak cipta yang salah sasaran, sehingga banyak pencipta lagu belum sejahtera,” ujar Piyu.
Ia menegaskan bahwa perjuangan AKSI bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi seluruh pencipta lagu di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Hak Cipta dan UUD 1945.
VISI Bela Hak Penyanyi dari Ketidakpastian Hukum
Dari pihak VISI, Ariel NOAH menyoroti perlindungan hukum bagi para penyanyi yang kerap dirugikan oleh ketidakjelasan aturan.
“Dua minggu lalu ada penyanyi legendaris disomasi karena menyanyikan lagunya sendiri. Ini yang kami perjuangkan, agar penyanyi memiliki perlindungan hukum yang pasti,” tegas Ariel.
Ia juga menyambut baik pernyataan AKSI yang menegaskan bahwa penyanyi tidak wajib membayar royalti saat tampil di panggung. “Ini langkah maju bagi industri musik Indonesia,” tambahnya.
Dorong Digitalisasi Sistem Royalti
Baik VISI maupun AKSI sepakat bahwa digitalisasi sistem royalti musik merupakan kunci utama untuk menciptakan transparansi dan efisiensi.
“Selama ini sistem di LMK dan LMKN masih manual. Kita butuh sistem digital agar distribusi royalti lebih adil dan akurat,” jelas Piyu.
Ariel pun menegaskan bahwa pembenahan lembaga pengelola royalti sangat diperlukan. “Kita ingin sistem yang terbuka, sehingga siapa yang menerima royalti dan berapa besarannya bisa diketahui publik,” ujarnya.
Penegasan Tanggung Jawab Royalti
Kedua organisasi menegaskan bahwa penyelenggara acara, bukan penyanyi, yang wajib membayar royalti performance rights, sebagaimana diatur dalam Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025.
“Dari dulu memang penyelenggara acara yang berkewajiban membayar. Hanya saja, kurangnya transparansi membuat seolah-olah pencipta lagu dilarang menagih haknya,” jelas Piyu.
Masa Transisi dan Harapan Baru
Anggota AKSI, Ari Bias, menyebut industri musik tengah berada dalam masa transisi pasca-moratorium dari Kementerian Hukum dan HAM. Ia mengungkapkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) telah menyiapkan platform digital untuk pendaftaran lisensi dan pembayaran royalti pertunjukan musik.
“Kita berharap sistem digital ini membawa perubahan nyata dan meningkatkan kepercayaan para pelaku musik,” ujarnya.
Dengan adanya kesepakatan antara VISI dan AKSI ini, dunia musik Indonesia menatap harapan baru menuju ekosistem yang transparan, modern, dan adil bagi seluruh seniman.
Sumber: detikpop





