MAJALENGKA, TINTAHIJAU.com – Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati kembali menjadi sorotan setelah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melontarkan sindiran bahwa bandara tersebut ibarat peuteuy selong—besar namun tak berisi.
Menanggapi hal itu, pakar transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono, menilai permasalahan utama Kertajati bukan pada bangunannya, melainkan pada tidak adanya pasar penumpang yang jelas.
“Bandara itu bukan sekadar membangun gedung besar. Dalam teori pengembangan, bandara harus memiliki kawasan interland atau wilayah pelayanan yang jelas,” kata Sony dalam keterangannya, Senin (9/6/2025).
Menurut Sony, sejak awal Kertajati dirancang untuk menggantikan fungsi Bandara Husein Sastranegara di Bandung dan melayani kawasan timur Jawa Barat, seperti Majalengka, Subang, Indramayu, Cirebon, Kuningan, hingga sebagian Jawa Tengah seperti Brebes dan Cilacap. Namun kenyataannya, perpindahan aktivitas penerbangan dari Husein ke Kertajati tidak berjalan sesuai harapan.
“Maskapai tidak akan membuka jalur jika tidak ada penumpang. Harapan agar penumpang dari Bandung pindah ke Kertajati ternyata tidak menarik bagi publik. Bahkan setelah Husein ditutup, orang justru memilih terbang dari Jakarta, apalagi dengan adanya kereta cepat Whoosh,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa sebelum membangun bandara, perlu ada kajian pasar yang mendalam. “Majalengka, Subang, Cirebon—apakah di sana memang ada potensi penumpang yang besar? Itu yang harus ditanyakan sejak awal,” imbuhnya.
Sony juga menyoroti bahwa kunjungan wisata dan bisnis ke Jawa Barat saat ini masih terpusat di Kota Bandung. Hal ini membuat posisi Kertajati menjadi kurang strategis dalam menarik penumpang reguler.
“Kargo sempat jadi alternatif, tapi pertanyaannya, kargo apa yang bisa diberangkatkan dari Majalengka atau Cirebon? Kalau barang bisa diangkut pakai truk atau kereta yang lebih murah, mengapa harus lewat udara?” ujarnya.
Namun demikian, Sony melihat potensi Kertajati bisa dikembangkan melalui pendekatan lain. Salah satu ide yang sempat digagas adalah menjadikan Kertajati sebagai pusat Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO) atau perawatan pesawat. Menurutnya, skenario tersebut cukup realistis untuk diterapkan dalam jangka pendek.
“Saat ini, Kertajati memang lebih banyak digunakan untuk pemberangkatan haji dan umrah. Tapi itu tidak berlangsung sepanjang tahun. MRO bisa menjadi jalan keluar untuk memaksimalkan fasilitas bandara,” ucapnya.
Di sisi lain, Sony mendukung semangat Gubernur Dedi Mulyadi dalam mengembangkan kawasan Rebana dan mendorong konsep aero city di sekitar bandara. Ia menilai hal tersebut dapat memicu pertumbuhan ekonomi dan menciptakan pasar baru bagi Kertajati.
“Konsep Rebana dan aero city harus terus didorong agar kawasan Majalengka tumbuh. Selain itu, perlu ada upaya lobi dari pemerintah provinsi ke pemerintah pusat agar maskapai diberi insentif untuk membuka rute ke Kertajati,” pungkasnya.
Bandara Kertajati saat ini masih berjuang menemukan pasarnya. Meski secara infrastruktur telah siap, namun tanpa dukungan pasar dan konektivitas yang baik, potensi bandara tersebut dikhawatirkan akan terus stagnan.