MegapolitanWisata

‎Pasar Pakuwon Bantaragung: Benggol, Sawah, dan Napas Baru Ekonomi Majalengka

×

‎Pasar Pakuwon Bantaragung: Benggol, Sawah, dan Napas Baru Ekonomi Majalengka

Sebarkan artikel ini

MAJALENGKA, TINTAHIJAU.COM — Saat matahari sore mulai condong ke barat, kilau cahaya keemasan menembus sela dedaunan bambu di kaki Gunung Ciremai. Di tengah hamparan sawah berundak yang hijau membentang, suara gamelan berpadu dengan tawa pengunjung yang sibuk memilih jajanan tradisional. Itulah suasana Pasar Pakuwon, sebuah pasar unik di Desa Bantaragung, Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka, yang kini menjadi magnet baru wisata ekonomi rakyat.

‎Setiap bulan sekali, ribuan orang datang ke sini. Tidak hanya warga sekitar, tetapi juga wisatawan dari Bandung, Karawang, Bogor, bahkan Jakarta. Mereka datang bukan sekadar untuk berbelanja, melainkan mencari suasana — sebuah pengalaman yang tak bisa ditemukan di mal modern mana pun.

‎Pasar Pakuwon hanya buka dari pukul 14.00 hingga 21.00 WIB, namun sejak siang, jalan desa sudah ramai. Deretan kendaraan berpelat luar daerah memadati bahu jalan, sementara di kejauhan, tenda-tenda putih di tengah sawah tampak memantulkan cahaya matahari. Di sinilah denyut ekonomi rakyat berdetak, di tengah alam yang masih asri.

Pemanfaatan Lahan Desa, Pembangkit Ekonomi

‎Berbeda dengan pasar tradisional pada umumnya yang berada di pusat permukiman, Pasar Pakuwon berdiri di tengah sawah dengan pemandangan gunung dan sungai kecil yang mengalir jernih. Untuk menuju lokasi, pengunjung harus berjalan di atas pematang sawah selebar dua meter, disemen rapi dan dikelilingi rumpun padi yang bergoyang ditiup angin.

‎“Awalnya heran, kok pasarnya di tengah sawah. Tapi pas sampai, ternyata indah banget. Beda dari yang lain,” ujar Ramdhan (31), pengunjung asal Kecamatan Sukahaji yang datang bersama rekannya dari Kuningan.

‎Dari tempat parkir, suara musik tradisional mengiringi langkah para pengunjung. Aroma makanan khas Sunda menyeruak dari berbagai arah: sorabi yang baru matang, jalabia manis berlapis gula, lotek kucur dengan sambal kacang yang gurih.

Setiap warung kecil berdiri di atas tanah berundak, sebagian beratap rumbia, sebagian lainnya dihias dengan lampu-lampu kuning temaram.

‎Suasana semakin romantis ketika senja tiba. Matahari perlahan tenggelam di balik bukit, menebarkan warna jingga yang membias di permukaan air sawah. “Kalau datang ke sini pas menjelang magrib, itu momen paling indah. Bisa makan sambil lihat sunset, rasanya damai banget,” ujar Asri, wisatawan asal Bandung yang datang bersama suaminya, Iman.

‎Benggol Alat Tukar, Simbol Ekonomi Lokal yang Unik

‎Namun keunikan Pasar Pakuwon tidak berhenti di pemandangannya. Di sini, rupiah tidak berlaku. Setiap transaksi harus menggunakan Benggol, alat tukar kayu berbentuk bulat, mirip koin zaman dulu.

‎“Yang paling menarik teh, pakai Benggol buat jajan. Rasanya kaya balik ke masa lalu,” tutur Ramdhan sambil memperlihatkan koin kayu bertuliskan Pasar Pakuwon di tangannya.

‎Sebelum masuk ke area pasar, pengunjung akan melewati stan penukaran uang. Di sana, mereka bisa menukarkan uang rupiah dengan Benggol.

Nilai tukarnya sederhana: satu Benggol setara dengan Rp5.000. Konsep ini bukan sekadar gimmick wisata, tetapi juga bentuk edukasi dan kontrol transaksi agar pedagang lebih mudah mencatat omzet.

‎Menurut Wawan Hernawanto, pengelola Pasar Pakuwon sekaligus Ketua Fokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Desa Bantaragung, ide penggunaan Benggol muncul dari musyawarah warga.

‎“Waktu rapat, kami sepakat harus ada ciri khas. Sesuatu yang beda dari pasar lain. Akhirnya muncul ide mata uang kayu, dan kami sepakat menamainya Benggol,” ujarnya.

‎Inovasi ini sukses menarik perhatian wisatawan. Banyak yang datang karena penasaran dengan sistem transaksi kuno tersebut. “Tadi saya sempat takut gak bisa bayar pakai QRIS, eh ternyata bisa juga. Jadi tetap modern tapi unik,” ujar Sarah, wisatawan dari Karawang yang datang bersama suaminya.

‎Lahan tempat berdirinya Pasar Pakuwon dulunya adalah tanah bengkok desa, lahan pertanian milik pemerintah desa yang tidak terlalu produktif. Kini, di tangan kreatif masyarakat, sawah itu disulap menjadi ruang ekonomi rakyat yang hidup.

‎“Dulu hasil panennya kurang bagus, makanya kami ubah jadi tempat kegiatan ekonomi. Luasnya sekitar 200 bata, dan ternyata berhasil menghidupkan desa,” kata Wawan.

‎Pasar ini pertama kali digelar pada Oktober 2024. Sejak itu, penyelenggaraan rutin setiap bulan menjadi agenda tetap yang selalu ditunggu masyarakat. Saat ini, tercatat lebih dari 10 UMKM lokal dan sejumlah ibu-ibu PKK yang berjualan di area pasar.

‎Mulai dari pedagang makanan tradisional, penjual hasil bumi seperti pete, mangga, dan sayuran, hingga perajin kerajinan tangan khas Majalengka.

‎“Sekarang setiap bulan ada lebih dari seribu pengunjung. Bahkan kami kerja sama dengan agen travel dari Jakarta. Mereka buat paket wisata: pagi ke Curug Cipeteuy, siangnya ke Pasar Pakuwon,” jelas Wawan.

Jajanan Tradisional Magnet Ekonomi

‎Dampak ekonomi dari keberadaan pasar ini benar-benar terasa di masyarakat. Banyak warga yang sebelumnya hanya berdagang kecil-kecilan kini bisa mendapatkan penghasilan lebih stabil.

‎Salah satunya Ahdi, penjual sorabi yang ikut berdagang sejak pasar pertama kali dibuka. “Mulai dagang sorabi dari zaman Covid. Kalau di rumah paling cuma tiga kilo adonan. Tapi di sini bisa sampai sepuluh kilo. Omzetnya bisa Rp700–800 ribu sekali jualan,” ungkapnya sambil tersenyum.

‎Cerita serupa datang dari Anah, pedagang lotek kucur. “Kalau di rumah mah jualannya keripik, tapi kalau di sini lotek. Lumayan banget buat tambahan jajan anak. Sekali gelaran bisa dapat Rp600 ribu-an,” tuturnya dengan wajah cerah.

‎Keduanya sepakat, Pasar Pakuwon bukan hanya tempat berjualan, tapi juga ajang silaturahmi, tempat bertukar ide, dan sumber kebanggaan bagi warga. “Kalau dulu pengunjung datang ke Bantaragung cuma buat wisata air, sekarang juga buat kulineran. Ekonomi jadi berputar,” tambah Ahdi.

‎Perpaduan Pariwisata, Seni, dan Ekonomi

‎Selain jajanan, di area tengah pasar terdapat panggung kecil tempat digelarnya hiburan rakyat. Tarian tradisional, musik bambu, dan pertunjukan seni khas Sunda menjadi daya tarik tambahan. Saat malam tiba, lampu-lampu gantung berkilau di antara pepohonan, menciptakan suasana yang hangat dan syahdu.

‎Kegiatan ini memang dikonsep bukan hanya sebagai ajang jual beli, melainkan ruang budaya. “Konsepnya pasar budaya. Jadi orang datang bisa menikmati kuliner, hiburan, dan suasana alam,” kata Wawan.

‎Pendekatan ini terbukti efektif menarik pengunjung dari luar daerah. Banyak wisatawan mengaku datang setelah melihat unggahan video di media sosial. “Awalnya lihat di Instagram. Pas lihat suasananya indah banget, akhirnya langsung ke sini,” kata Asri, pengunjung asal Bandung.

‎Bank Indonesia Turut Membina, QRIS Jadi Pelengkap Benggol

‎Pasar Pakuwon menjadi bagian dari pembinaan Bank Indonesia (BI) di Desa Wisata Bantaragung. Selain sektor pertanian, BI mendorong penggunaan transaksi digital melalui QRIS sebagai bentuk modernisasi ekonomi desa.

‎“Selain Benggol, pengunjung bisa juga pakai QRIS. Ini sejalan dengan pembinaan BI supaya masyarakat desa juga melek transaksi non-tunai,” terang Wawan.

‎Plt Kepala Perwakilan BI Cirebon, Fickry Widya Nugraha, menyebut potensi Majalengka masih sangat besar.

‎“Majalengka ini potensinya baru mulai. Kalau dikelola serius, bisa tumbuh tinggi. Pasar Pakuwon contoh kecil bagaimana ekonomi kreatif dan wisata bisa menyatu,” ujarnya.

‎Menurutnya, peran pemerintah daerah dan sektor swasta tetap dibutuhkan. “Pasar seperti ini gak bisa dibiarkan jalan sendiri. Harus ada dukungan, supaya dampak ekonominya makin luas,” tambah Fickry.

‎Majalengka, Kabupaten Kreatif yang Terus Bertumbuh

‎Dalam beberapa tahun terakhir, Majalengka memang menunjukkan geliat baru di sektor ekonomi kreatif dan pariwisata. Deretan desa wisata bermunculan, mulai dari Argapura hingga Sindangwangi. Banyak di antaranya berhasil memadukan potensi alam, kuliner, dan budaya.

‎Pemerintah pusat pun sempat menobatkan Majalengka sebagai salah satu Kabupaten Kreatif di Jawa Barat. Hal itu sejalan dengan misi pembangunan daerah berbasis potensi lokal dan pemberdayaan masyarakat.

‎Menurut anggota Komisi II DPRD Majalengka, Iif Rivandi, Pasar Pakuwon merupakan contoh nyata dari semangat ekonomi kreatif di tingkat desa.

‎“Yang dijual di sini bukan hanya makanan, tapi pengalaman, suasana, dan budaya. Ini bentuk kearifan lokal yang bernilai ekonomi,” ujar politisi PDIP itu.

‎Ia menilai, kegiatan serupa bisa direplikasi di desa lain asalkan punya konsep kuat. “Kuncinya di pengelolaan. Jangan asal meniru. Harus punya karakter sendiri dan daya tarik yang membedakan,” tegasnya.

‎Dampak Sosial: Ruang Baru untuk Anak Muda dan UMKM

‎Tak hanya pedagang, anak-anak muda Bantaragung juga ikut menikmati dampak positif dari kegiatan ini. Sebagian menjadi panitia, pemandu wisata, hingga pengelola stan kuliner. Mereka belajar mengatur acara, melayani wisatawan, dan berinteraksi dengan tamu dari luar daerah.

‎Analis Fungsi Pengembangan UMKM dan Keuangan Inklusif BI Cirebon, Muhammad Harun Al Rasyid, mengungkapkan bahwa setiap penyelenggaraan pasar kini melibatkan lebih dari 25 warga muda.

‎“Dulu yang terlibat cuma anggota Fokdarwis dan pemilik homestay. Sekarang anak-anak muda juga ikut dapat penghasilan. Ini indikator bagus bagi perkembangan ekonomi lokal,” katanya.

‎Selain itu, pelaku UMKM yang sebelumnya tidak punya wadah promosi kini mendapat ruang untuk memperkenalkan produknya. Dari makanan khas hingga kerajinan tangan, semuanya menjadi bagian dari ekosistem ekonomi baru di desa.

‎Kembali ke Desa, Membangun dari Kearifan Lokal

‎Bagi Wawan dan timnya, kesuksesan Pasar Pakuwon adalah hasil kerja gotong royong. Konsepnya sederhana: menghidupkan kembali semangat pasar rakyat, namun dikemas dengan sentuhan pariwisata dan budaya.

‎“Dulu banyak yang ragu. Tapi sekarang lihat sendiri, setiap bulan pengunjung selalu ramai. Warga jadi punya harapan baru,” kata Wawan sambil tersenyum.

‎Ia berharap pemerintah daerah terus mendukung dengan infrastruktur dan promosi. “Kalau didukung lebih baik lagi, ini bisa jadi ikon wisata Majalengka. Karena yang kami jual bukan sekadar barang, tapi suasana desa yang hangat,” tambahnya.

‎Suara Pengunjung: Antara Wisata dan Nostalgia

‎Bagi banyak pengunjung, datang ke Pasar Pakuwon bukan hanya soal belanja, melainkan nostalgia. “Rasanya seperti balik ke masa kecil di kampung. Jajanan tradisional, aroma kayu bakar, musik gamelan… semuanya bikin rindu,” kata Sarah, wisatawan dari Karawang.

‎Bagi warga setempat, pasar ini juga menjadi ruang kebersamaan. Saat sore, anak-anak berlarian di pematang, ibu-ibu menyiapkan jajanan, dan para pemuda sibuk menjaga area parkir. Semua terlibat, semua merasakan manfaatnya.

‎Bagi mereka, Pasar Pakuwon bukan sekadar tempat jual beli, melainkan simbol kehidupan — sebuah bukti bahwa desa mampu berdiri di atas kakinya sendiri, dengan kearifan lokal sebagai fondasi.

‎Menatap Masa Depan: Dari Pasar ke Ekosistem Wisata Terpadu

‎Seiring meningkatnya antusiasme pengunjung, pemerintah desa bersama pengelola kini tengah mempersiapkan langkah lanjutan. Beberapa di antaranya adalah menambah fasilitas umum, membangun rest area kecil, dan memperluas area parkir.

‎“Tujuan kami bukan cuma jadi tempat wisata musiman, tapi jadi bagian dari ekosistem ekonomi desa. Ke depan, kami mau integrasikan dengan produk pertanian dan homestay,” jelas Wawan.

‎Bank Indonesia juga berkomitmen untuk terus mendampingi. “Kami akan terus mendorong literasi keuangan digital dan pemberdayaan UMKM agar dampaknya lebih luas,” ujar Harun.

‎Dengan semangat kolaborasi, Bantaragung perlahan menjelma menjadi contoh sukses desa wisata yang tumbuh dari bawah — bukan karena investor besar, tapi karena kerja keras warga dan cinta pada tradisi.

‎Penutup

‎Dari lahan bengkok yang dulu sepi, kini lahir ruang ekonomi yang penuh kehidupan. Dari Benggol kayu yang sederhana, tumbuh semangat baru untuk berdikari. Dari tangan-tangan warga, mengalir harapan agar desa terus maju tanpa kehilangan jati diri.

‎Pasar Pakuwon Bantaragung bukan hanya cerita tentang jual beli, tetapi tentang bagaimana masyarakat desa memaknai pembangunan dengan caranya sendiri — sederhana, hangat, dan mengakar pada budaya.

‎Ketika malam tiba dan suara pedagang mulai reda, cahaya lampu gantung masih berkilau di antara sawah. Gemericik sungai masih terdengar, dan angin pegunungan berhembus lembut. Di sanalah, di tengah alam yang tenang, denyut ekonomi rakyat terus hidup — setenang Benggol yang berpindah tangan, seteguh semangat warga yang tak pernah padam.