Polemik KHDPK Memanas, Pengelola Hutan Rakyat Tolak Kembalinya Model Lama

BANDUNG, TINTAHIJAU.COM- Polemik audiensi Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) dengan Komisi IV DPR RI kembali memicu perdebatan soal arah pengelolaan hutan di Pulau Jawa.

Sorotan publik menguat setelah FPHJ mendesak pencabutan kebijakan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Di balik slogan “penyelamatan hutan”, kebijakan tersebut dinilai berpotensi mengembalikan pola pengelolaan lama yang menutup akses masyarakat desa hutan. Model ini dinilai ikut menyebabkan turunnya tutupan hutan, meluasnya lahan kritis, dan minimnya kesejahteraan warga yang hidup di sekitar kawasan hutan.

“Yang mereka sebut penyelamatan hutan justru menyelamatkan sistem lama yang terbukti gagal. Masyarakat desa hutan selalu dijadikan kambing hitam, padahal mereka selama ini menjaga hutan tanpa diakui,” kata Ketua BPP AP2SI Jabar, Dedi Junaedi.

Menurutnya, KHDPK dan program Perhutanan Sosial justru hadir sebagai koreksi atas pola masa lalu. Kebijakan ini membuka akses legal bagi masyarakat mengelola hutan lindung atau hutan produksi secara adil dan berkelanjutan.

Data GOKUPS menunjukkan, hingga 2025 Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial di Pulau Jawa telah mencapai sekitar 477.866 hektare untuk 268.842 kepala keluarga. Akses ini berlangsung selama 35 tahun dan menjadi dasar masyarakat mengembangkan usaha hutan secara lestari.

“Kelompok Perhutanan Sosial mampu melakukan penatausahaan hasil hutan dan membayar kewajiban kepada negara. Gapoktanhut Jaleuleu dan Gapoktanhut Gambung di Pasirjambu sudah membayar PNBP hasil hutan bukan kayu lewat sistem daring Kemenhut,” jelas Dedi.

Program ini disebut memberi dampak ekonomi signifikan. Pendapatan rumah tangga sekitar hutan meningkat sekitar 20 persen, sementara upaya rehabilitasi lahan kritis berjalan lebih masif melalui inisiatif masyarakat.

“Kalau dulu hutan jadi sumber konflik, sekarang mulai jadi ruang hidup bersama. Kebutuhan mendesak saat ini adalah penguatan pendampingan dan pengawasan, bukan pembatalan kebijakan,” tegasnya.

Dari Banten hingga Banyuwangi, ratusan kelompok tani hutan dan koperasi menunjukkan bahwa partisipasi warga memperkuat fungsi ekologis hutan. Mereka menanam kembali lahan gundul dengan kopi, mengembangkan ekowisata mangrove, hingga membangun ekonomi hijau di tingkat desa.

“Rakyat sudah lama membuktikan: hutan lestari lahir dari kesejahteraan, bukan dari ketakutan,” tambah Dedi.

Masyarakat sipil mendukung evaluasi KHDPK dan Perhutanan Sosial, tetapi menolak upaya pencabutan yang berisiko menghapus hak akses dan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan.

“Evaluasi itu untuk perbaikan, bukan alasan untuk mundur ke masa lalu. Kalau ada penyimpangan, benahi di lapangan, bukan cabut kebijakannya,” ujarnya.

Dedi mendorong KLHK dan DPR RI tidak terjebak pada narasi yang menempatkan masyarakat sebagai ancaman, melainkan memperkuat kemitraan dan pengawasan partisipatif.

“Hutan Jawa tak butuh penyelamat baru. Yang dibutuhkan adalah keadilan bagi para penjaga hutan yang sesungguhnya: masyarakat,” tutupnya.


Kalau mau versi lebih pendek, versi investigatif, atau versi editorial, tinggal bilang mang.