Dedi Mulyadi Tegaskan Konsekuensi bagi Kepala Daerah yang Abaikan Perintah Penghapusan Tunggakan PBB

Dedi Mulyadi mengunjungi vila yang dirusak oknum warga di Sukabumi (Foto: istimewa)

BANDUNG, TINTAHIJAU.com – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan adanya konsekuensi politik bagi Wali Kota maupun Bupati yang tidak mengikuti perintahnya terkait penghapusan tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Hal itu disampaikan saat dirinya menghadiri sejumlah agenda resmi di Bandung dan Bekasi, Kamis–Jumat (14–15/8/2025).

Dedi menyebut, penghapusan tunggakan PBB yang berlaku untuk tahun 2024 ke belakang diharapkan menjadi stimulus agar masyarakat kembali taat membayar pajak. Menurutnya, kebijakan ini justru akan berdampak positif bagi pendapatan daerah ke depan.

“Imbauan ini saya yakini akan diikuti para bupati dan wali kota. Pada akhirnya, pendapatannya bukan berkurang, tapi justru bertambah. Mekanismenya mirip dengan pemutihan pajak kendaraan bermotor,” ujar Dedi.

Klarifikasi soal Kenaikan PBB Cirebon

Isu kenaikan PBB hingga 1.000 persen yang sempat memicu protes warga di Kota Cirebon juga menjadi perhatian Gubernur Jabar. Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, menyampaikan klarifikasi bahwa kebijakan tersebut merupakan warisan dari era Penjabat Wali Kota pada 2024. Edo memastikan PBB di Cirebon akan dikembalikan ke tarif awal sebelum adanya rencana kenaikan.

Dedi menyebut, hampir seluruh kepala daerah di Jawa Barat kini sudah menindaklanjuti instruksi penghapusan tunggakan PBB. “Bogor sudah, Purwakarta sudah, Kuningan, Majalengka juga sudah melaksanakan. Bekasi pun akan segera menindaklanjuti,” katanya.

Namun demikian, ia menegaskan bila ada kepala daerah yang menolak atau mengabaikan, maka konsekuensinya akan kembali pada penilaian masyarakat. “Kalau tidak mengikuti, biarkan masyarakat yang menilai,” tegasnya.

Pendapat Pengamat

Kebijakan ini turut menuai tanggapan dari pengamat ekonomi Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi. Ia mengingatkan agar penghapusan tunggakan PBB dilakukan dengan hati-hati karena PBB merupakan sumber penerimaan utama bagi kabupaten/kota.

“Kalau semua tunggakan dihapuskan tanpa kriteria jelas, akan berpotensi mengganggu pendapatan daerah. Bahkan bisa memunculkan kebiasaan wajib pajak menunggu pemutihan,” ujarnya.

Acuviarta menyarankan agar insentif lebih difokuskan kepada wajib pajak yang taat membayar tepat waktu. Ia mencontohkan kebijakan Kota Bandung yang pernah membebaskan PBB untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan beban sekitar Rp100 ribu per tahun. Menurutnya, kebijakan semacam itu lebih tepat sasaran dibanding penghapusan massal.

Meski menuai pro dan kontra, Dedi Mulyadi tetap optimistis langkah penghapusan tunggakan PBB akan memperkuat kesadaran masyarakat dalam membayar pajak serta menjadi instrumen mendorong pendapatan daerah di masa mendatang.