JK Angkat Bicara Soal Sengketa Empat Pulau, Tegaskan Wilayah Masuk Aceh Berdasarkan UU dan Sejarah

JAKARTA, TINTAHIJAU.com Mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), akhirnya angkat suara terkait sengketa empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara, yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang (Besar), dan Pulau Mangkir Ketek (Kecil). JK menegaskan bahwa secara historis dan yuridis, keempat pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Aceh, khususnya Aceh Singkil.

Pernyataan tersebut disampaikan JK saat ditemui di kediamannya di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025). Ia merujuk pada Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005. MoU tersebut, kata JK, menyebutkan bahwa batas wilayah Aceh mengacu pada kondisi per 1 Juli 1956.

“Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956,” ujar JK sembari membacakan isi pasal 1.1.4 dalam MoU Helsinki.

JK menjelaskan bahwa pembentukan Provinsi Aceh secara resmi diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Dalam UU tersebut, wilayah Provinsi Aceh dipisahkan dari Sumatera Utara, termasuk kabupaten-kabupaten di dalamnya, yang menjadi dasar hukum formal keberadaan Aceh sebagai provinsi otonom.

Menurut JK, secara sejarah, empat pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh Singkil meski letaknya berdekatan dengan wilayah Sumatera Utara. Ia mencontohkan kondisi serupa di Sulawesi Selatan, di mana terdapat pulau yang secara geografis lebih dekat ke Nusa Tenggara Timur (NTT), namun tetap menjadi bagian dari Sulawesi Selatan.

Lebih lanjut, JK mengungkapkan bahwa dirinya telah berdiskusi langsung dengan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, terkait polemik ini. Ia menekankan bahwa sebuah keputusan berbasis undang-undang tidak bisa digantikan atau dibatalkan hanya dengan Keputusan Menteri (Kepmen).

“Karena ini didirikan dengan undang-undang, tentu tidak bisa dipindahkan dengan Kepmen. Kalau mau ubah, ya lewat undang-undang juga,” tegasnya.

JK juga mengungkap fakta bahwa warga di keempat pulau tersebut selama ini membayar pajak kepada pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, yang memperkuat klaim historis dan administratif wilayah Aceh atas pulau-pulau itu.

“Secara historis dan administratif, pulau itu bagian dari Aceh. Mudah-mudahan ada penyelesaian yang baik karena ini masalah yang sensitif,” ujar JK.

Ia menilai tidak ada kepentingan ekonomi yang signifikan dalam sengketa ini, serta menepis anggapan bahwa permasalahan ini berkaitan dengan dana APBD.

“Saya kira ini bukan soal dana. Ini soal bagaimana menjaga kedamaian dan hubungan baik antarwilayah,” tambahnya.

Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan, Safrizal Zakaria Ali, dalam konferensi pers di Kantor Kemendagri, Rabu (11/6/2025), menjelaskan duduk perkara versi pemerintah.

Menurut Safrizal, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi pada tahun 2008 memverifikasi pulau-pulau tersebut dan memasukkannya ke dalam wilayah Sumatera Utara, berdasarkan konfirmasi Gubernur Sumut pada 2009. Di sisi lain, Gubernur Aceh tidak mencantumkan keempat pulau tersebut dalam verifikasi tahun yang sama.

Ia juga menyebutkan adanya perubahan nama pulau dan koordinat yang menyebabkan sengketa berkepanjangan. Misalnya, Pulau Mangkir Besar semula tercatat sebagai Pulau Rangit Besar, dan Pulau Lipan sebagai Pulau Malelo.

Safrizal menegaskan bahwa berdasarkan dokumen pelaporan Indonesia ke PBB pada 2012 dan Keputusan Mendagri tahun 2022 yang diperbarui pada April 2025, keempat pulau secara administratif masuk ke dalam wilayah Sumatera Utara. Bahkan, Peraturan Daerah Sumut Nomor 4 Tahun 2019 juga telah memasukkan keempat pulau dalam zonasi provinsi tersebut.

Meskipun sempat ada keberatan dari pihak Aceh, upaya mediasi dan pembahasan lintas instansi tidak menghasilkan kesepakatan bersama. Akhirnya, pemerintah pusat memutuskan status administratif empat pulau tetap berada di bawah Sumatera Utara.

Dengan dua versi klaim yang kuat, baik dari sisi historis dan legalitas MoU Helsinki maupun dari verifikasi administratif pemerintah pusat, persoalan ini memerlukan penyelesaian yang bijaksana demi menjaga stabilitas dan hubungan antarwilayah. Pemerintah diharapkan dapat merumuskan solusi adil dan menghindari potensi konflik berkepanjangan di masa mendatang.