MK Tegaskan Syarat TOEFL pada Tes Masuk Kerja Bukan Diskriminasi

JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa syarat nilai tes bahasa Inggris (TOEFL) dalam tes masuk kerja, baik di instansi pemerintah maupun swasta, bukanlah bentuk diskriminasi.

Penegasan ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan Putusan Nomor 159/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, pada Jumat (2/1). Dalam putusan tersebut, MK menolak permohonan yang diajukan oleh Hanter Oriko Siregar yang mempersoalkan ketentuan tersebut.

Guntur Hamzah menjelaskan bahwa adanya persyaratan khusus yang diterapkan oleh instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka memberi kesempatan yang sama dalam pekerjaan dan disertai alasan yang logis, tidak dapat dianggap sebagai diskriminasi. “Upaya tersebut bukanlah suatu bentuk diskriminasi,” tegas Guntur.

Lebih lanjut, MK menegaskan bahwa penempatan tenaga kerja di sektor swasta diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sementara di sektor pemerintahan diatur oleh PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Dengan demikian, MK menilai bahwa tidak ada potensi bagi instansi pemerintah dan swasta untuk membuat aturan atau persyaratan yang bersifat sewenang-wenang dan diskriminatif dalam proses rekrutmen tenaga kerja.

Guntur juga mengungkapkan bahwa syarat kemampuan bahasa asing dalam seleksi pekerjaan sesuai dengan prinsip tingkat kedewasaan dan pengalaman minimal (minimum degree of maturity and experience) serta merupakan pengejawantahan dari konstitusi.

Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, serta memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan.

Pada perkara ini, Hanter Oriko Siregar mengajukan permohonan karena merasa dirugikan dengan ketentuan syarat skor TOEFL sebesar 450 yang diwajibkan oleh beberapa instansi, termasuk Mahkamah Agung, Kejaksaan RI, dan KPK. Hanter mengaku hanya mendapatkan skor 370, yang membuatnya tidak bisa mengikuti seleksi calon PNS tahun 2024.

MK mengaku memahami kekhawatiran Hanter, namun menyatakan bahwa pemerintah telah memberikan berbagai program pengembangan kompetensi bagi pencari kerja maupun pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja. Program tersebut meliputi pelatihan serta pemberian insentif guna meningkatkan kemampuan dan kompetensi kerja.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK memutuskan bahwa permohonan Hanter tidak beralasan menurut hukum dan menolak permohonannya secara keseluruhan.