JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati, Senin (8/9). Pergantian ini menandai berakhirnya masa jabatan Sri Mulyani yang sudah menduduki kursi Menkeu selama 14 tahun, sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam pernyataan perdananya, Purbaya menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6–7 persen. Ia menilai pencapaian itu akan mampu meredam gejolak publik yang sempat memuncak dalam gelombang demonstrasi di sejumlah daerah pada akhir Agustus lalu.
“Begitu pertumbuhan 6–7 persen tercapai, rakyat akan lebih sibuk mencari kerja dan hidup lebih baik daripada turun ke jalan,” kata Purbaya di Jakarta, Selasa (9/9).
Namun pernyataan tersebut menuai kritik. Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menilai Purbaya terlalu menyederhanakan persoalan. “Dia seperti tidak merasakan keresahan masyarakat. Masalah utama ada pada ketidakadilan fiskal, bukan sekadar pertumbuhan,” ujarnya.
Warisan Berat Sri Mulyani
Purbaya mewarisi sejumlah tantangan serius. Postur RAPBN 2026 menunjukkan potensi defisit Rp638,8 triliun dengan rencana penarikan utang baru Rp781,9 triliun. Akibatnya, beban pembayaran bunga utang bisa menembus Rp600 triliun atau 19 persen dari belanja negara.
Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran senilai Rp750 triliun yang diarahkan Presiden Prabowo untuk mendanai program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Danantara menimbulkan dampak domino. Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) membuat ratusan pemerintah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), memicu gelombang penolakan warga.
“Ketidakadilan fiskal inilah yang membuat rakyat murka,” tambah Andri.
Target Penerimaan Negara yang Melorot
Persoalan lain adalah pendapatan negara yang berpotensi tidak mencapai target. Penerimaan pajak 2025 diproyeksikan hanya 94,9 persen dari target Rp2.189,3 triliun. Dividen BUMN pun dialihkan ke Danantara, sehingga kas negara tertekan.
Ekonom senior CORE Indonesia, Hendri Saparini, menilai solusi memperluas basis pajak perlu diarahkan ke kelompok superkaya. “Pajak kekayaan 1–2 persen dari 50 orang terkaya bisa memberi Rp80 triliun per tahun, lebih besar dari tambahan PPN,” jelasnya.
Kritik dan Harapan
Hendri juga mengingatkan bahwa pertumbuhan 6–7 persen sekalipun tidak menjamin kesejahteraan rakyat bila sifatnya eksklusif. “Yang dibutuhkan adalah pertumbuhan inklusif. Purbaya jangan mensimplifikasi persoalan masyarakat,” tegasnya.
Ia mencontohkan program MBG yang seharusnya bisa dijalankan bersama swasta, lembaga internasional, dan UMKM, sehingga tidak membebani APBN.
Di sisi lain, pengamat menekankan pentingnya Purbaya menjaga komunikasi publik. Ucapannya yang menyebut tuntutan rakyat ’17+8’ hanya suara segelintir orang dinilai berpotensi memicu kemarahan baru.
Minta Maaf
Dalam pidato serah terima jabatan, Purbaya menyinggung tantangan global mulai dari krisis ekonomi, geopolitik, hingga perubahan iklim. Ia menegaskan APBN tetap harus disiplin dan kredibel.
“Setiap rupiah adalah uang rakyat, dan tanggung jawab kami memastikan digunakan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Purbaya pun menyampaikan permintaan maaf atas ucapannya sebelumnya. “Kalau kemarin salah ngomong, saya minta maaf. Kunci ke depan adalah menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya,” pungkasnya.