JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan bahwa pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada yang dijadwalkan pada hari itu resmi dibatalkan.
Keputusan ini disampaikan melalui akun media sosialnya di platform X pada 22 Agustus 2024, di mana ia menyatakan bahwa revisi UU Pilkada yang rencananya akan disahkan pada tanggal tersebut batal dilaksanakan.
Dasco menjelaskan bahwa pembatalan ini berarti aturan yang berlaku pada saat pendaftaran Pilkada, yang dijadwalkan pada 27 Agustus 2024, adalah hasil keputusan Judicial Review dari Mahkamah Konstitusi (MK). MK sebelumnya telah mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora terkait syarat pencalonan dalam Pilkada.
Keputusan untuk membatalkan pengesahan RUU Pilkada ini muncul setelah adanya demonstrasi besar yang dilakukan oleh Partai Buruh dan berbagai kelompok sipil di depan Gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta.
Demonstrasi tersebut merupakan bagian dari gerakan ‘peringatan darurat Indonesia’ yang sempat viral di media sosial. Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap manuver DPR yang dianggap mengabaikan putusan MK.
Sebelumnya, Badan Legislatif (Baleg) DPR telah menyepakati revisi UU Pilkada dalam sebuah rapat yang berlangsung pada Selasa, 20 Agustus 2024. RUU tersebut disetujui oleh delapan dari sembilan fraksi di DPR, dengan hanya PDIP yang menolak.
Pembahasan RUU Pilkada ini dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari tujuh jam, sehari setelah Mahkamah Konstitusi mengubah syarat pencalonan Pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024.
Namun, dalam pembahasan tersebut, DPR tidak mengakomodasi keseluruhan putusan MK, yang kemudian memicu protes dan tekanan dari berbagai pihak. Pengesahan RUU Pilkada yang semula direncanakan akan dilakukan pada 22 Agustus 2024 akhirnya dibatalkan karena tidak memenuhi kuorum dalam Rapat Paripurna DPR.
Keputusan ini menjadi penanda penting dalam dinamika politik Indonesia, terutama dalam konteks Pilkada yang semakin dekat. Pembatalan ini juga menunjukkan kuatnya pengaruh gerakan sipil dalam menjaga agar proses legislasi tetap berada dalam koridor konstitusional, sesuai dengan putusan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, yaitu Mahkamah Konstitusi.