JAKARTA, TINTAHIJAU.com — Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, menegaskan bahwa negara memiliki hak penuh untuk melarang pengibaran bendera bajak laut fiktif One Piece dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurutnya, tindakan pengibaran bendera fiktif sejajar dengan Merah Putih dapat dikategorikan sebagai bentuk makar dan pelecehan terhadap simbol negara.
“Pelarangan pengibaran bendera tersebut adalah upaya penting menjaga simbol-simbol nasional sebagai wujud penghormatan terhadap negara,” ujar Pigai dalam keterangan pers di Jakarta, Minggu (3/8/2025).
Mantan Komisioner Komnas HAM itu menilai bahwa aksi semacam ini tidak hanya melukai nilai-nilai kebangsaan, tetapi juga melanggar hukum positif di Indonesia. Ia menekankan bahwa bendera Merah Putih memiliki kedudukan sakral dalam sistem ketatanegaraan dan tidak boleh disandingkan dengan simbol fiksi yang tidak memiliki relevansi dengan sejarah perjuangan bangsa.
Pigai menegaskan, larangan pemerintah terhadap penggunaan simbol bendera bajak laut fiktif, seperti Jolly Roger dari serial anime One Piece, juga sejalan dengan hukum internasional. Ia merujuk pada Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
“Langkah ini menunjukkan bagaimana hukum nasional dan internasional saling bersinergi dalam menjaga stabilitas negara,” ujarnya.
Ia meyakini bahwa kebijakan tersebut akan mendapat dukungan dari komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menurut Pigai, tindakan ini penting untuk mencegah distorsi makna dalam momentum bersejarah seperti peringatan Hari Kemerdekaan.
“Saya berharap agar masyarakat memahami bahwa pelarangan ini adalah upaya menjaga kesatuan dan integritas bangsa dalam momentum bersejarah seperti perayaan Hari Kemerdekaan,” kata Pigai mengimbau.
Sebelumnya, jagat media sosial diramaikan oleh ajakan untuk mengibarkan bendera One Piece pada peringatan HUT ke-80 RI, 17 Agustus mendatang. Sejumlah kalangan menafsirkan fenomena ini sebagai bentuk kritik terhadap kondisi bangsa yang dinilai tengah mengalami kemunduran. Namun, pemerintah menganggap aksi tersebut sebagai ancaman terhadap simbol-simbol kedaulatan negara.

