JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Vonis ringan yang dijatuhkan kepada koruptor kasus tambang timah, Harvey Moeis, menjadi sorotan publik dan tantangan besar bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Hukuman yang tidak sebanding dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun ini dinilai mencoreng semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Vonis ini menandakan lemahnya sistem peradilan dalam menghadapi kasus korupsi besar.
Harvey Moeis hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, serta diharuskan membayar uang pengganti senilai Rp210 miliar. Hukuman ini jauh dari harapan publik yang menginginkan hukuman maksimal demi menciptakan efek jera.
Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli meragukan proses penyidikan serta penerapan pasal dalam kasus ini. Menurut Pieter, jaksa terkesan tidak tegas dalam menghukum para pelaku, termasuk Hendri Lie, Helena Liem, dan sejumlah petinggi perusahaan tambang seperti PT Refined Bangka Tin dan PT Venus Inti Perkasa.
“Penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) harusnya menjadi keharusan karena unsur-unsurnya sudah terpenuhi,” ujar Pieter Zulkifli di Jakarta (3/1/2025). Ia menilai vonis ringan terhadap Harvey dan pelaku lainnya menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat mengenai siapa aktor utama di balik kasus ini.
Vonis ringan terhadap Harvey Moeis bukanlah satu-satunya yang disorot. Direktur Utama PT Refined Bangka Tin, Suparta, divonis 8 tahun penjara, jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta 14 tahun. Reza Andriansyah, Direktur Pengembangan Usaha, hanya dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp750 juta.
Pieter menilai fenomena ini mencerminkan lemahnya prinsip efek jera dalam penegakan hukum Indonesia. Perbedaan signifikan antara tuntutan dan vonis menimbulkan spekulasi adanya kesepakatan tersembunyi antara jaksa, hakim, dan terdakwa.
Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, juga turut mengkritik proses hukum dalam kasus ini. Pieter menilai Mahfud seharusnya lebih berperan dalam mengawasi penanganan kasus ini sejak awal. Kritik Mahfud setelah tidak lagi menjabat dinilai kurang produktif dan cenderung tendensius.
Pieter Zulkifli menekankan pentingnya reformasi sistem hukum, khususnya dalam penerapan TPPU. Ia mencontohkan keberhasilan Singapura dalam memberantas korupsi melalui penyitaan aset dan pembatasan hak mantan koruptor. Hukuman penjara yang ringan disertai penyitaan aset dianggap lebih efektif menciptakan efek jera dibanding hukuman penjara panjang tanpa tindak lanjut terhadap aset pelaku.
Menurut Pieter, pembuktian terbalik harus menjadi instrumen utama dalam memberantas korupsi. Aset yang diperoleh dari hasil kejahatan harus disita untuk memulihkan kerugian negara. Prabowo diharapkan mampu mereformasi sistem hukum dan menciptakan kebijakan yang efektif dalam memberantas korupsi.
Vonis ringan terhadap pelaku korupsi timah menjadi cerminan tantangan besar yang dihadapi pemerintahan Prabowo Subianto. Reformasi sistem hukum yang transparan dan tegas menjadi kebutuhan mendesak. Penegakan hukum harus menyentuh semua aktor utama di balik korupsi, tidak hanya individu tertentu. Jika langkah ini tidak segera diambil, kasus serupa hanya akan menjadi babak baru dalam drama panjang ketidakadilan di Indonesia.





