Yusril Ihza Mahendra Tegaskan Hukuman Mati Masih Berlaku dalam KUHP Nasional

Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan hukuman mati dalam KUHP Nasional tidak dihapuskan, tapi ditempatkan secara khusus. Foto/Dok.SindoNews

JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa hukuman mati tetap menjadi bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru. Meski demikian, ia menyampaikan bahwa penerapan pidana mati kini memiliki pendekatan yang lebih berhati-hati dan bersifat khusus.

Menurut Yusril, KUHP Nasional telah mengatur secara tegas bahwa pidana mati bukanlah hukuman yang langsung dilaksanakan setelah adanya putusan pengadilan. Dalam praktiknya, jaksa diwajibkan untuk mengajukan tuntutan pidana mati disertai dengan alternatif hukuman lain, seperti pidana penjara seumur hidup, untuk kemudian dipertimbangkan oleh majelis hakim.

“Secara substansi, pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP Nasional,” ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/4/2025).

Lebih lanjut, Yusril menjelaskan bahwa KUHP Nasional mengatur ketentuan yang mewajibkan pengajuan grasi sebelum eksekusi pidana mati dapat dilaksanakan. Permohonan grasi ini bisa diajukan oleh terpidana, keluarga, atau penasihat hukumnya, sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP.

Tak hanya itu, KUHP juga memberikan ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 99 dan 100. Jika selama masa percobaan tersebut terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, maka Presiden memiliki wewenang untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup.

“Pendekatan kehati-hatian ini berangkat dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, pidana mati hanya dijatuhkan untuk kejahatan berat dan pelaksanaannya harus disertai pertimbangan yang sangat mendalam,” kata Yusril.

Ia juga menekankan bahwa dalam konteks hak asasi manusia (HAM), penerapan hukuman mati sangat tergantung pada tafsir filosofis tentang hak hidup. Meski ada doktrin agama di masa lalu yang membenarkan hukuman mati, dalam perkembangan teologis modern muncul tafsir baru yang menolaknya.

“Bagaimanapun juga, hakim dan pemerintah adalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam mengambil keputusan,” ujarnya, menggarisbawahi pentingnya kehati-hatian dalam menjatuhkan hukuman paling berat ini.

Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari TINTAHIJAU.COM, Klik Disini dan Klik ini