SUBANG, TINTAHIJAU.com – Di antara denyut musik Indonesia yang kerap bergemuruh oleh kritik dan protes, Ferry Curtis memilih berjalan perlahan. Ia menapaki jalur yang hening, namun dalam—jalur yang ia sebut sebagai musik balada kreatif. Sebuah ruang di mana lagu tidak sekadar menjadi luapan emosi, melainkan hasil perenungan, riset lirik, dan cita-cita membangun manusia Indonesia yang berkarakter.
Lahir pada 20 Oktober 1969 dengan nama R. Ferry A. Anggawijaya, anak bungsu dari tujuh bersaudara ini tumbuh menjadi seniman yang percaya bahwa nada dapat menjadi doa, dan kata dapat menjelma cahaya. Sejak awal 1990-an, saat tradisi balada Indonesia masih lekat dengan kritik sosial ala Iwan Fals dan Ebiet G. Ade, Ferry Curtis telah mengambil jarak. Ia tidak meninggalkan realitas, tetapi menggesernya: dari kritik struktural menuju penguatan individu—dari teriak perlawanan menuju bisik pembentukan karakter.
Ferry Curtis tumbuh sebagai seniman yang percaya bahwa musik tidak harus berisik untuk bermakna. Dalam balada-balada dan musik puisinya, ia mengajak pendengar berhenti sejenak, menunduk, lalu membaca—bukan hanya buku, tetapi juga kehidupan. Karya-karyanya dipersembahkan bagi masyarakat sebagai upaya menggairahkan kembali minat baca, seolah ia berkata pelan: literasi adalah cahaya yang tak boleh padam.
Akar perjalanan itu bermula dari jalanan Bandung. Tahun 1990, Ferry Curtis mengamen, bersentuhan langsung dengan denyut hidup paling jujur. Dari sanalah sensibilitas kemanusiaannya lahir—lirih namun kukuh. Nama “Curtis” sendiri ia peroleh dari perjumpaan solidaritas di jalanan, hasil pertukaran nama dengan seorang pengapresiasi. Sebuah nama yang kemudian menjadi simbol otentisitas grassroots, sekaligus penegasan identitas seniman yang tak pernah tercerabut dari tanah.
Meski berangkat dari jalanan, Ferry sejak awal memadukan seni dengan aktivisme. Pendidikan teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung—kini Institut Seni Budaya Indonesia—yang ia selesaikan pada 1994, memperkaya cara pandangnya tentang panggung sebagai ruang nilai. Ia terlibat sebagai aktor dan penata musik dalam berbagai pertunjukan, bergabung dengan kelompok-kelompok teater yang membentuk disiplin estetik dan kedalaman refleksi. Dari sana, ia belajar bahwa seni bukan sekadar ekspresi, melainkan tanggung jawab.
Langkah Ferry Curtis terus bergerak, dari ruang teater menuju ruang-ruang publik. Ia menggelar konser musik di kampus, pusat kebudayaan, dan berbagai kota di Indonesia. Pada 1998, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, ia memulai babak baru: konser tunggal dengan karya ciptaannya sendiri. Sebuah pilihan yang jarang ditempuh musisi balada. Hingga kini, tercatat 33 konser tunggal telah ia selesaikan, masing-masing membawa tema kemanusiaan yang berbeda. Menariknya, album pertama justru hadir kemudian, pada 2003, seolah panggung lebih dulu ia percaya sebagai saksi.
Bagi Ferry Curtis, lirik adalah manifes nilai. Ia kerap mengibaratkan proses penciptaan lagu seperti ukiran Jepara: perlahan, teliti, dan membutuhkan waktu. Setiap kata dipilih dengan kesabaran, setiap bait melalui riset dan perenungan. Tema-temanya berporos pada tiga pilar utama—kemanusiaan, nasionalisme, dan literasi—yang konsisten hadir dalam ratusan karyanya.

Pilihan jalur ini menjadikan musiknya berbeda dari balada protes konvensional. Lagu-lagu Ferry Curtis lebih diarahkan pada edukasi, literasi, dan penguatan karakter bangsa. Di era pasca-Reformasi, ketika kritik struktural telah banyak disuarakan, ia memilih membangun kapasitas manusia dari dalam. Pendekatan ini membuat karyanya selaras dengan agenda sosial dan pendidikan kontemporer.
Pengakuan nasional atas jalur kreatif itu hadir dalam berbagai bentuk. Salah satunya pada 1 Juni 2016, ketika Ferry Curtis menyanyikan lagu ciptaannya “Semua Untuk Semua” di Gedung Merdeka Bandung, dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, di hadapan Presiden Republik Indonesia. Lagu itu menjadi penanda bahwa balada kreatif dapat berdiri sejajar sebagai ekspresi budaya kebangsaan.
Produktivitasnya mengalir seperti sungai panjang. Hingga kini, lebih dari 200—bahkan melampaui 250—lagu telah ia tulis, mencakup balada, lagu teater, lagu anak-anak, mars, dan himne. Sejak album pertamanya Live In Concert Ferry Curtis (2003), disusul Tawis Soca, Sahabat Cahaya, hingga Jangan Berhenti Membaca (2019), karya-karyanya terus beresonansi. Album literasi tersebut, hasil kolaborasi dengan Perpustakaan Nasional RI, melahirkan lagu “Mari Membaca” yang populer di kalangan pegiat literasi di seluruh Indonesia.
Perjalanan musikalnya juga ditandai oleh konser-konser tunggal kemanusiaan. Selama lebih dari tiga dekade, Ferry Curtis telah menggelar lebih dari 30 konser tunggal di berbagai daerah. Konser-konser ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan medium penyebaran nilai, motivasi, dan literasi. Di panggung-panggung itulah musik menjadi dialog, dan penonton menjadi bagian dari gerakan.
Aktivisme ini dipayungi oleh Balad Cahaya Foundation, yayasan yang ia pimpin untuk menggerakkan “virus literasi” melalui musik, diskusi, dan pendidikan. Bersama Katon Bagaskara dan dr. Wachyudi Muchin, ia juga mendirikan Yayasan Baca Indonesia, yang melahirkan berbagai gerakan membaca di Makassar, Gorontalo, Bau-Bau, hingga Jawa Timur—gerakan yang terus menyala hingga kini.
Tahun 2023 menjadi tonggak lain dalam perjalanan sunyinya. Album TRITANGTU diluncurkan bersamaan dengan Konser Literasi Indonesia di Purwakarta—tanah kelahirannya. Konser ini didedikasikan untuk mendiang kakaknya, Budi Sabarudin, seorang pegiat literasi, serta melibatkan musisi muda lokal sebagai estafet nilai dan regenerasi kreativitas. Sebuah peristiwa yang menegaskan bahwa musik, bagi Ferry Curtis, adalah kerja lintas generasi.
Ia menyebut jalurnya sebagai “jalan sunyi”—jauh dari arus komersial, namun setia pada dampak sosial. Pilihan itu justru memberinya legitimasi kuat di mata lembaga pendidikan, komunitas sosial, hingga negara. Penghargaan literasi, Anugerah Budaya Kota Bandung 2021, serta kepercayaan institusi menjadi bukti bahwa kesunyian yang konsisten dapat berbunyi panjang.
Legasi Ferry Curtis tidak berhenti pada album atau panggung. Ia terletak pada keberhasilannya menginstitusionalisasi musik sebagai gerakan literasi dan pendidikan karakter. Ia adalah cermin Indonesia yang lain: seniman yang menjadikan lagu sebagai medium etika, pengetahuan, dan harapan. Dalam lanskap musik Indonesia hari ini, jalan sunyi yang ia tempuh mengajarkan satu hal sederhana namun mendalam—bahwa seni yang dijalani dengan integritas akan selalu menemukan jalannya menuju keabadian.

Penulis: Kin Sanubary | Editor: Oki Rosgani





