SUBANG, TINTAHIJAU.com – Fotografi adalah medium yang mampu merekam dan merayakan keragaman agama serta kepercayaan di tengah masyarakat Indonesia. Lewat lensa kamera, kisah toleransi yang mendalam dapat dituangkan dalam sebuah gambar, bukan hanya menampilkan ritual keagamaan, tetapi juga menyampaikan pesan tentang sikap dan semangat toleransi antarumat beragama.
Hal ini menjadi bagian dari perjalanan seorang fotografer profesional bernama Djuli Pamungkas, yang mengabdikan dirinya untuk mendokumentasikan keberagaman Indonesia.
Profil Djuli Pamungkas
Djuli Pamungkas lahir pada 6 Juli 1991 di Sumedang, Jawa Barat. Ia menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi Jurnalistik, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, tempat ia mulai mengenal dunia fotografi secara mendalam. Pada 2011, bersama kawan-kawan kampusnya, Djuli mendirikan komunitas Photo’s Speak, yang menjadi ruang bagi para pecinta fotografi untuk berekspresi dan berbagi cerita.
Djuli telah berpartisipasi dalam berbagai pameran fotografi, di antaranya Citarum (2013), Kaleidoskop Photo’s Speak (2014), Persib Juara (2014), Eye Story (2015), Kilas Balik Jawa Barat (2015), Tanah Kami Terpapar Limbah (2016), dan Kilas Balik PON – Peparnas (2016). Sejak 2013, ia bekerja sebagai wartawan foto di Sindo Jabar, memperluas wawasan dan keterampilannya dalam mengabadikan momen-momen penting. Cita-cita terbesarnya adalah memiliki sebuah perpustakaan, tempat ia berharap dapat mengarsipkan berbagai karya dan memberikan akses literasi visual kepada masyarakat luas.
Menyelami Toleransi Lewat Lensa
Perjalanan Djuli dalam dunia fotografi membawanya pada pemahaman mendalam tentang keberagaman. Lahir dan besar di lingkungan multikultural, ia percaya pentingnya memiliki sudut pandang yang luas dan terbuka. Dalam setiap perjalanan fotografinya, Djuli memosisikan diri seperti gelas kosong—siap menyerap cerita dan pelajaran baru dari setiap sudut kehidupan.
Sebagai seorang wartawan foto, Djuli telah mengabadikan banyak momen keagamaan dan kebudayaan. Ia menemukan kedamaian dalam memotret momen-momen sakral ini, karena tuntutan untuk menghormati prosesi keagamaan memunculkan rasa tenang dalam dirinya. Menurutnya, fotografi keagamaan tidak hanya tentang menghasilkan gambar yang indah, tetapi juga menunjukkan rasa hormat pada nilai-nilai yang diyakini oleh umat beragama yang diabadikannya.






Djuli percaya bahwa perbedaan hanyalah tembok yang diciptakan oleh manusia. Fanatisme berlebihan terhadap satu agama atau keyakinan sering kali menjadi penghalang untuk saling memahami. Namun, fotografi, sebagai medium visual dua dimensi, mampu menembus tembok tersebut. Ia percaya bahwa lensa kamera dapat menjadi jendela untuk menyelami toleransi, membuka pikiran, dan menguatkan hubungan antarindividu.
Sebagaimana lirik lagu Pure Saturday, “Langit terbuka luas, mengapa tidak pikiranku, pikiranmu?” Pesan ini selaras dengan visi Djuli dalam fotografi—mengajak semua orang untuk membuka hati dan pikiran, merayakan keberagaman, dan menyelami arti sejati toleransi. Melalui fotografi, ia berkomitmen untuk menjadikan keberagaman sebagai kekuatan, bukan sekadar perbedaan. 🌿

oleh: Kin Sanubary