JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa perannya sebagai Menteri Keuangan tidaklah mudah. Ia kerap merasakan beban yang berat, terutama ketika harus mengambil keputusan terkait kebijakan fiskal yang berdampak luas.
Sri Mulyani yang saat ini menjabat kembali sebagai Menteri Keuangan di era pemerintahan Presiden Prabowo, telah berpengalaman mengemban posisi ini sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2005-2010) dan dilanjutkan di era Presiden Joko Widodo (2016-2024). Dengan demikian, ia tercatat sebagai Menteri Keuangan dengan masa jabatan terlama di Indonesia.
Tantangan dalam Mengambil Kebijakan
Sri Mulyani sering dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menetapkan kebijakan-kebijakan keuangan yang berpengaruh besar terhadap masyarakat dan ekonomi nasional. Kebijakan yang dikeluarkan sering kali menimbulkan respons yang beragam, baik pro maupun kontra. Dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI yang berlangsung di Senayan, Jakarta, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa tugasnya sebagai Menteri Keuangan tidak selalu menyenangkan.
“Kadang-kadang menjadi Menteri Keuangan itu tidak enak. Karena indikatornya semua menjadi tidak sama happy, semuanya equally unhappy. Misalnya, ada yang meminta 100, tetapi hanya mendapatkan 25. Sementara itu, yang sudah diberi 25 merasa terbebani kepada saya,” ungkapnya pada Jumat (15/11/2024).
Kebijakan Keuangan Merupakan Hasil Kesepakatan Bersama
Meskipun sering dianggap sebagai pengambil keputusan tunggal, Sri Mulyani menekankan bahwa setiap kebijakan keuangan merupakan hasil kesepakatan bersama yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga. Contohnya, kebijakan terkait cukai rokok. Menteri Kesehatan meminta agar cukai rokok ditetapkan setinggi mungkin demi alasan kesehatan, sementara Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Perindustrian menginginkan tarif cukai yang lebih rendah untuk melindungi pekerja dan industri.
“Kebijakan cukai hasil tembakau, misalnya, terkait dengan penggunaan tembakau dari petani lokal. Cukai ditetapkan berdasarkan klasifikasi, seperti grup 1, grup 2, dan grup 3. Menteri Kesehatan menginginkan tarif cukai tinggi karena alasan kesehatan, namun Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Perindustrian meminta agar tarifnya lebih rendah,” jelas Sri Mulyani.
Dilema Kebijakan Bea Masuk Impor
Selain kebijakan cukai, Sri Mulyani juga menyoroti dilema dalam menetapkan bea masuk impor. Menurutnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menghadapi tantangan dalam melindungi industri hulu dan hilir. Jika bea masuk tinggi diberlakukan, industri hilir dapat terlindungi, tetapi industri hulu akan kesulitan mendapatkan bahan baku impor yang murah. Sebaliknya, jika bea masuk diturunkan, industri hilir bisa terdampak negatif.
“Kalau bea masuk ditetapkan tinggi, pasti industri hilir akan mengadu ke DPR, merasa dizalimi oleh Kemenkeu. Namun, jika bea masuk diturunkan, industri hulu justru akan mengeluhkan kebijakan tersebut kepada DPR,” ujar Sri Mulyani.
Pentingnya Koordinasi Antar Kementerian
Untuk mengatasi dilema ini, Sri Mulyani menekankan pentingnya koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Melalui rapat koordinasi, diharapkan semua pihak dapat mencapai kesepakatan bersama serta memahami konsekuensi dari keputusan yang diambil.
“Inilah mengapa kami harus sangat berhati-hati dalam membuat kebijakan,” tegasnya.
Sri Mulyani mengungkapkan bahwa tugasnya sebagai Menteri Keuangan adalah menjaga keseimbangan antara kepentingan berbagai pihak, baik kementerian, lembaga, maupun masyarakat.
Ia berupaya memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil telah melalui proses diskusi dan pertimbangan yang matang, meskipun tidak semua pihak merasa puas. Meski berat, Sri Mulyani tetap berkomitmen untuk melindungi perekonomian Indonesia dengan kebijakan yang bijaksana.