SUBANG, TINTAHIJAU.COM — Setiap tanggal 10 November, Indonesia berhenti sejenak untuk mengenang perjuangan para pahlawan. Hari ini bukan sekadar seremoni tahunan, tapi pengingat tentang harga mahal dari sebuah kemerdekaan.
Hari Pahlawan diperingati untuk mengenang Pertempuran Surabaya tahun 1945, salah satu pertempuran terbesar dan paling berdarah setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Saat itu, rakyat Surabaya yang hanya bersenjatakan bambu runcing berani melawan pasukan Sekutu dan NICA (Belanda) yang datang dengan persenjataan lengkap.
Semangat yang Membara dari Arek-Arek Suroboyo
Semua bermula dari ultimatum pasukan Sekutu pada 9 November 1945 yang memerintahkan rakyat menyerahkan senjata. Tapi rakyat menolak mentah-mentah. Esok harinya, 10 November 1945, Surabaya pecah jadi lautan api. Dari jalan-jalan sempit hingga gedung-gedung besar, suara peluru bersahut-sahutan.
Dari tengah kepulan asap, terdengar suara lantang Bung Tomo membakar semangat rakyat lewat siaran radio. “Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah… kita tidak akan menyerah kepada siapa pun juga!” teriaknya.
Bersama Gubernur Suryo, Sungkono, drg. Moestopo, dan ribuan pejuang lainnya, rakyat bertahan sampai titik darah penghabisan. Banyak yang gugur, tapi keberanian mereka membuat dunia tahu: Indonesia bukan bangsa yang bisa ditundukkan lagi.
Ditetapkan Lewat Keppres 316 Tahun 1959
Empat belas tahun setelah pertempuran itu, pemerintah menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Penetapan ini bukan hanya bentuk penghormatan, tapi juga pesan agar setiap generasi tak melupakan akar perjuangan bangsanya.
Kalau dihitung dari peristiwa 1945, maka tahun 2025 ini adalah peringatan ke-80 tahun Hari Pahlawan. Sementara kalau dihitung dari Keppres 1959, berarti sudah 66 tahun penetapannya sebagai hari nasional. Meski bukan hari libur, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar tanggal merah.
Makna Hari Pahlawan di Zaman Sekarang
Delapan puluh tahun berlalu, mungkin sudah tak ada lagi tembakan dan ledakan di jalanan, tapi semangat juang itu seharusnya masih menyala. Di masa kini, menjadi pahlawan tak harus mengangkat senjata.
Pahlawan bisa jadi guru yang tulus mendidik, petani yang terus menanam di tengah cuaca tak menentu, atau anak muda yang berbuat baik dan jujur di tengah tantangan zaman. Semua orang bisa menjadi pahlawan di medan juangnya masing-masing.
Seperti kata Bung Tomo,
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan menyerah kepada siapa pun juga.”
Selamat Hari Pahlawan 10 November 2025.
Mari terus hidupkan semangat mereka — dari Surabaya 1945, hingga Subang hari ini.




