JAKARTA, TINTAHIJAU.COM – Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 731 Tahun 2025 tentang penetapan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan selama lima tahun menuai kritik.
Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, menilai kebijakan tersebut sebagai langkah mundur demokrasi.
Menurut Neni, keputusan KPU bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga berbahaya secara politik. Dengan menutup dokumen seperti daftar riwayat hidup, profil singkat, rekam jejak, laporan harta kekayaan (LHKPN), hingga surat keterangan lainnya, KPU dinilai mengunci akses publik terhadap informasi vital yang menentukan integritas calon pemimpin bangsa.
“KPU tidak boleh berlindung di balik alasan perlindungan data pribadi untuk menutup dokumen publik yang krusial. Menutupnya berarti mengunci hak rakyat untuk tahu dan melemahkan akuntabilitas pemilu. KPU adalah lembaga publik yang harus berintegritas, jangan sampai menjadi alat penguasa untuk kepentingan politik pragmatis,” tegas Neni, Senin (15/9/2025).
Ia menambahkan, kebijakan KPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Menurutnya, badan publik wajib menyediakan informasi, terlebih yang berkaitan dengan rekam jejak calon pemimpin bangsa.
“Partai politik saja saat mendaftar ke KPU wajib menyerahkan dokumen terbuka yang bisa diakses publik. Jika dokumen parpol bisa dibuka, mengapa dokumen pribadi capres-cawapres justru dikunci? Seharusnya capres-cawapres tunduk pada standar keterbukaan yang sama,” tambahnya.
Atas dasar itu, DEEP Indonesia menyampaikan lima sikap:
- Menilai adanya dugaan pelanggaran prinsip keterbukaan informasi, karena UU hanya membolehkan pengecualian terbatas, bukan semua dokumen sekaligus.
- Menutup dokumen selama lima tahun dianggap mengunci demokrasi dan menghilangkan momentum kritis publik untuk menguji calon saat pemilu berlangsung.
- KPU mengklaim telah melakukan uji konsekuensi, tetapi tidak membuka proses dan alasan ke publik.
- Tindakan tersebut berpotensi menggerus kepercayaan publik karena semakin tertutup, semakin kuat kecurigaan adanya sesuatu yang disembunyikan.
- KPU tidak boleh menjadi alat penguasa, melainkan harus berpihak pada kepentingan rakyat dan menjaga independensi pemilu.
“Atas dasar itu, DEEP Indonesia mendesak KPU segera mencabut Keputusan 731/2025 dan menggantinya dengan regulasi baru yang lebih seimbang. Perlindungan data pribadi tetap penting, tetapi tidak boleh menutup hak publik untuk mengakses informasi terkait integritas capres dan cawapres,” tegas Neni.





