BANDUNG, TINTAHIJAU.com — Kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Bandung masih menjadi perhatian serius meskipun angkanya menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan data dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung, jumlah kasus yang dilaporkan masih berada di kisaran ratusan sejak tahun 2022 hingga awal 2025.
Kepala DP2KBP3A Kabupaten Bandung, Muhamad Hairun, mengungkapkan bahwa pada tahun 2022 tercatat 156 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini menurun menjadi 137 kasus pada tahun 2023, dan kembali turun menjadi sekitar 132 kasus di tahun 2024. Meski begitu, Hairun menegaskan bahwa penurunan ini diraih dengan perjuangan yang tidak mudah.
“Menurunkan angka kekerasan anak satu persen saja itu sangat sulit, penuh perjuangan. Apalagi dari 137 menjadi 130, itu hampir 5 persen dan sudah sangat berat,” ujar Hairun saat ditemui di kantornya di Soreang, Jumat (9/5/2025).
Mayoritas kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Bandung merupakan kekerasan seksual, yang mencakup tindakan pelecehan, pencabulan, hingga persetubuhan. Dalam banyak kasus, satu pelaku bisa menyasar lebih dari satu korban. Kasus-kasus ini umumnya terjadi dalam lingkungan lembaga atau komunitas tertentu.
Dalam penanganan kasus, DP2KBP3A bekerja sama dengan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dari Polresta Bandung. Polisi menangani aspek hukum terhadap pelaku, sementara pihak DP2KBP3A memberikan perlindungan dan pendampingan bagi korban.
Meskipun jumlah kasus masih cukup tinggi, Hairun menyebut bahwa secara keseluruhan wilayah Kabupaten Bandung tergolong “landai” dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat. Saat ini, Kabupaten Bandung menempati posisi ke-13 dalam jumlah kasus kekerasan terhadap anak se-Jawa Barat. Namun, tingginya jumlah penduduk di Kabupaten Bandung menjadi salah satu faktor yang turut memengaruhi angka tersebut.
Hairun juga menyoroti tantangan dalam upaya penanganan, termasuk minimnya pemahaman masyarakat mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak. Ia menyebut bahwa banyak masyarakat hanya mengenali kekerasan fisik atau pelecehan, padahal kini juga marak terjadi kekerasan berbasis digital atau Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Selain itu, kesulitan korban untuk melapor, terutama jika pelaku berasal dari lingkungan keluarga, menjadi kendala besar.
Lebih lanjut, Hairun mengungkapkan adanya perbedaan pendekatan antara pemerintah daerah dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam menilai penanganan kasus. Pemda berfokus pada penurunan jumlah kasus, sedangkan KemenPPPA lebih menekankan pentingnya semua kasus dapat terungkap dan ditangani. Hal ini menunjukkan bahwa isu kekerasan terhadap anak merupakan tanggung jawab lintas lembaga, baik di tingkat daerah maupun nasional.
Upaya perlindungan anak tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak. Butuh kerja sama lintas sektor dan kesadaran kolektif dari masyarakat agar anak-anak di Kabupaten Bandung dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan.