Ragam  

Kondisi Makam William Hofland, Tokoh Pendirian Kota Subang yang Terlupakan

Politisi PDI Perjuangan, anggota DPRD Kabupaten Subang, sekaligus pegiat budaya, Beni Rudiono, menyampaikan keprihatinannya yang mendalam atas kondisi makam tokoh sejarah William Hofland yang terletak di kawasan Dungus Wiru, Subang.

Dalam kunjungannya ke lokasi, Beni menunjukkan langsung situasi kompleks pemakaman yang terbengkalai, khususnya makam Hofland dan keluarganya. Diketahui, Hofland merupakan tokoh penting yang berjasa besar dalam sejarah pendirian Kota Subang, terutama di masa perkembangan perkebunan pada awal abad ke-19.

“Betapa menyedihkan, seorang yang berjasa besar terhadap pendirian kota Subang yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Subang, makamnya sungguh tak terurus,” ucap Beni dalam rekaman video dokumentasi kunjungan tersebut.

Beni Rudiono menekankan bahwa eksistensi Subang sebagai kota tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkebunannya. Perkebunan menjadi denyut nadi pembangunan wilayah ini sejak awal abad ke-19. Bahkan, kantor besar perusahaan perkebunan P&T Land yang kini sudah hancur, dulunya berdiri megah di depan Rumah Sakit PTPN Subang.

“Subang ada karena perkebunan, dan Hofland adalah bagian dari sejarah itu. Suka tidak suka, kita tidak bisa mengabaikan peran tokoh ini hanya karena latar belakang kebangsaan atau agamanya,” tambah Beni.

Tak hanya makamnya yang terbengkalai, monumen penghormatan berupa patung atau replika Hofland pun pernah menjadi sasaran pencurian. Setelah hilang selama bertahun-tahun, patung itu akhirnya ditemukan dalam kondisi rusak, sudah digergaji tangannya, di wilayah Padalarang, berkat kerja sama dengan pihak kepolisian.

Ia menyerukan agar sejarah Subang tidak dilupakan dan meminta pemerintah daerah serta masyarakat untuk lebih memperhatikan warisan budaya dan sejarah lokal, termasuk merawat makam para tokoh penting.

“Ini PR kita bersama. Kita tidak boleh melupakan sejarah. Apapun latar belakangnya, nyatanya Subang hari ini berdiri karena jerih payah mereka juga,” pungkasnya.

Dalam pandangan Beni, upaya merawat makam Hofland dan memperingati jasanya bukanlah bentuk glorifikasi penjajahan, melainkan penghargaan terhadap sejarah yang membentuk identitas daerah. Ia mendorong agar makam ini dijadikan cagar budaya atau situs sejarah yang bisa memberi pelajaran kepada generasi muda mengenai akar Subang.

“Kita tidak boleh melupakan sejarah. Apapun latar belakangnya, Belanda, Eropa, Kristen, atau lainnya, nyatanya mereka datang dan membangun Subang. Ini menjadi PR besar kita bersama, untuk melestarikan jejak sejarah itu,” tegasnya.

Peter William Hofland bukan nama asing dalam sejarah Subang, meski kini nyaris dilupakan. Ia memulai kariernya sebagai pedagang kopi, menjalin kerja sama dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada masa akhir kolonial awal. Kemudian, pada tahun 1840, Hofland bersama saudaranya T.B. Hofland mengakuisisi saham perusahaan besar yang bergerak di sektor perkebunan, Pamanoekan en Tjiasemlanden, dari pemilik sebelumnya, Skelton.

Lahan yang dikelola Hofland bukan sekadar luas—melainkan luar biasa. Hamparan perkebunannya membentang dari pesisir utara hingga wilayah selatan Subang yang sekarang, bahkan meluas ke wilayah lain seperti Pamuungpuk, Cikajang, Pangalengan, hingga ke Cianjur dan Banten.

Pada 1858, Hofland membeli seluruh saham dari saudaranya dan resmi menjadi pemilik tunggal dari perusahaan raksasa itu. Di bawah kepemimpinannya, lahan perkebunan berkembang pesat, menjadi pusat ekonomi regional sekaligus fondasi bagi terbentuknya Kota Subang seperti yang dikenal saat ini.

Tak hanya soal bisnis, Hofland juga dikenal sebagai tokoh yang memberi dampak sosial signifikan. Ia membuka akses pasar lokal untuk masyarakat sekitar dengan harga terjangkau, membangun infrastruktur dasar, dan menjadi tokoh yang sangat disegani. Di mata masyarakat kala itu, Hofland bukan sekadar tuan tanah, melainkan “raja agung” yang dihormati karena kedekatannya dengan warga dan kebijakan-kebijakannya yang menguntungkan penduduk lokal.

Ia meninggal di Subang pada 4 Februari 1872 dan mewariskan kerajaan perkebunannya kepada anak pertamanya, Yohanues Theodous Hofland.