SUBANG, TINTAHIJAU.com – Salah satu isu hangat yang mencuat di akhir masa jabatan anggota DPR periode 2019-2024 adalah rencana revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Rancangan ini bertujuan mengubah nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA, yang pernah hadir di era Orde Lama dan Orde Baru, namun kemudian dihapus di era reformasi, kini akan dihidupkan kembali.
Revisi ini menuai kecurigaan dari berbagai kalangan. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), misalnya, menilai kesepakatan untuk merevisi UU ini terlalu terburu-buru. Peneliti Formappi, Lucius Karius, menyebut revisi UU Wantimpres yang diusulkan DPR sangat kental dengan unsur pesanan untuk mengakomodir pemerintahan yang baru nanti.
Indikasi pesanan terlihat ketika parlemen menyepakati perubahan UU Wantimpres pada masa reses yang dimulai Kamis, 11 Juli 2024. “Unsur pesanan dalam perencanaan dan pembahasan revisi undang-undang tersebut sangat jelas terlihat,” kata Lucius kepada Kompas.tv pada Jumat, 12 Juli 2024.
Meski demikian, seluruh fraksi di DPR menyetujui RUU tersebut untuk dibawa ke paripurna dan menjadi usul inisiatif DPR. Besar kemungkinan, Dewan Pertimbangan Agung akan mulai bekerja di era pemerintahan baru Prabowo Subianto.
Sejarah DPA sendiri menarik untuk ditelusuri. DPA sudah ada sejak era kemerdekaan, dengan ketua pertamanya adalah Margono Djojohadikusumo, yang tak lain adalah kakek dari presiden terpilih Prabowo Subianto.

Arsip Nasional pernah mencuitkan pada 2018, “R.M. Margono Djojohadikoesoemo, lahir di Purwokerto, 16 Mei 1894, pernah menjadi Ketua DPA, Pendiri dan Presiden Direktur @BNI Pertama.”
Margono juga dikenal sebagai ketua DPR pada 25 September 1945, sebulan setelah proklamasi dibacakan oleh Soekarno-Hatta. Dalam buku “Sepuluh Tahun Koperasi (1930-1940)” yang diterbitkan ulang oleh Fadli Zon Library pada 2013, dan diberi kata pengantar oleh Prabowo Subianto, sosok Margono diulas secara mendalam.
Prabowo menyebutnya sebagai Eyang Margono Djojohadikusumo, tepatnya Raden Mas Margono Djojohadikusumo. “Beliau adalah eyang kami, ayahanda dari Bapak kami, Prof.Dr. Soemitro Djojohadikusumo,” ujarnya.
Margono adalah seorang sarjana dengan latar belakang pendidikan yang luas, serta seorang pegawai Jawatan Perkreditan Rakyat (kemudian menjadi Jawatan Koperasi) pada pemerintahan kolonial dengan pengalaman lapangan yang panjang. Prabowo juga mengenang kedekatannya dengan sang eyang. “
Jika sedang makan bersama, Eyang selalu bercerita tentang keberanian para pemuda Indonesia melawan Belanda,” katanya. Pesan Margono kepada keluarganya adalah untuk selalu menjaga nama baik keluarga. “Nama keluarga itu tidak ada kaitan dengan kedudukan dalam masyarakat maupun dengan kekayaan harta. Nama baik keluarga hendaklah dikandung dalam hati rakyat,” tegasnya.
Margono Djojohadikusumo meninggal dunia di Jakarta pada 25 Juli 1978. Revisi UU Wantimpres yang diusulkan DPR ini, sekaligus menghidupkan kembali DPA, seolah mengangkat kembali kenangan akan sosok Margono dalam sejarah bangsa.