JAKARTA, TINTAHIJAU.com — Istilah misoginis belakangan ini semakin sering terdengar di tengah maraknya kesadaran publik terhadap isu kesetaraan gender. Misoginis merujuk pada individu, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki kebencian ekstrem terhadap wanita. Perilaku ini dikenal dengan sebutan misogini, dan kerap dikaitkan dengan dominasi budaya patriarki, diskriminasi gender, serta hak istimewa laki-laki.
Secara etimologis, istilah “misoginis” berasal dari bahasa Yunani, yakni miso yang berarti “benci” dan gyne yang berarti “wanita”. Berbeda dengan ginofobia — rasa takut berlebihan terhadap wanita — misogini bukanlah ketakutan, melainkan kebencian aktif dan sering kali disertai tindakan merendahkan atau menyakiti perempuan, baik secara verbal, emosional, maupun fisik.
Faktor Penyebab Munculnya Perilaku Misoginis
Ada berbagai penyebab yang dapat melatarbelakangi seseorang menjadi misoginis. Salah satunya adalah trauma masa kecil, seperti pengalaman buruk dengan sosok perempuan dalam hidupnya, baik itu ibu, pengasuh, maupun teman perempuan. Trauma serupa di usia dewasa, seperti hubungan asmara yang tidak sehat, juga bisa memicu kebencian terhadap perempuan.
Pola asuh yang tidak adil juga turut berkontribusi. Anak laki-laki yang merasa dianaktirikan dibanding saudara perempuannya bisa tumbuh dengan rasa iri yang berkembang menjadi misogini. Selain itu, pola pikir maskulinitas toksik atau toxic masculinity — yang menganggap pria harus selalu kuat, tidak boleh menunjukkan emosi, dan wanita hanya sebatas objek — juga memperparah sikap diskriminatif terhadap perempuan.
Ciri-Ciri Seorang Misoginis
Meskipun tidak selalu terlihat di permukaan, seorang misoginis dapat dikenali melalui sejumlah sikap, di antaranya:
- Memperlakukan wanita secara berbeda
Mereka cenderung bersikap ramah terhadap sesama pria, namun kasar, sinis, dan merendahkan wanita. - Tidak ingin tersaingi
Pria misoginis sulit menerima jika ada wanita yang lebih sukses atau berprestasi darinya. - Egois dan suka mengatur
Mereka merasa superior dalam hubungan, tidak mau mendengarkan pendapat pasangan, dan bersikap posesif. - Menyalahkan wanita
Segala hal yang salah dalam hidupnya, baik kecil maupun besar, sering kali dituding sebagai kesalahan perempuan.
Meskipun demikian, seorang misoginis tetap dapat menjalin hubungan romantis, bahkan menikah. Namun, hubungan ini rentan menjadi hubungan yang tidak sehat atau toxic relationship, di mana perempuan sering kali merasa tertekan dan kehilangan jati diri.
Pentingnya Kesadaran dan Penanganan
Masyarakat diimbau untuk lebih sadar akan bahaya perilaku misoginis yang bisa memicu kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan. Perempuan yang merasa menjadi korban misogini dalam hubungan pribadi atau lingkungan sosial sebaiknya tidak ragu mencari bantuan profesional, termasuk psikolog atau pihak berwajib jika terjadi tindakan kekerasan.
Pencegahan juga dapat dimulai dari keluarga, dengan membangun pola asuh yang setara tanpa memandang jenis kelamin, serta mengedukasi anak laki-laki agar menghormati perempuan dan tidak terjebak dalam pola pikir maskulinitas toksik.
Dengan meningkatnya kesadaran dan edukasi, diharapkan perilaku misoginis bisa dikenali sejak dini dan dicegah penyebarannya di masyarakat demi terciptanya lingkungan yang lebih adil dan setara bagi semua gender.