Ragam

Mengenal Sejarah Sebutan Bandung Kota Kembang

×

Mengenal Sejarah Sebutan Bandung Kota Kembang

Sebarkan artikel ini
Gedung Sate | Foto: Wikipedia

BANDUNG, TINTAHIJAU.comJika Anda pernah mengunjungi Bandung, mungkin Anda akan segera memahami mengapa kota ini dijuluki “Kota Kembang”. Jalan-jalan yang rindang, taman-taman asri, serta warna-warni bunga yang bermekaran seolah menyambut siapa pun yang datang.

Tak sedikit pula yang menganggap bahwa julukan ini merujuk pada keindahan flora, termasuk bunga Patrakomala yang bahkan dinobatkan sebagai ikon flora Kota Bandung sejak 1998.

Namun, di balik narasi indah tentang bunga-bunga yang semarak, tersimpan kisah lain yang tak banyak diketahui orang. Sebuah cerita yang lebih gelap, berlapis sejarah kolonial, dan menyentuh sisi lain dari kata “kembang” itu sendiri—yakni para perempuan.

Aroma Teh dan Bisik-bisik di Kongres Para Juragan

Kisah ini bermula jauh sebelum Bandung menjadi kota metropolitan seperti hari ini. Tahun 1884, jalur kereta api mulai menghubungkan Buitenzorg (Bogor), Sukabumi, dan Cianjur hingga akhirnya merambah ke Cilacap, Jawa Tengah. Konektivitas ini menjadikan Bandung sebagai titik pertemuan penting.

Adalah Pieter Sijthoff, Asisten Residen Priangan yang memanfaatkan peluang ini. Dengan ambisinya, ia menggagas Bandung sebagai tuan rumah Kongres Besar Perkumpulan Pengusaha Gula (Bestuur van de Vereniging van Suikerplanters) pada 1896, meski kota ini belum memiliki fasilitas mumpuni saat itu.

Di balik kesuksesan kongres selama tiga hari tersebut, terdapat agenda tak tertulis yang tak kalah mencuri perhatian: pesta “hiburan malam” bagi para juragan. Aktor utama di balik kegiatan ini adalah Willem Schenk, pengusaha kebun teh flamboyan yang dikenal sebagai “Don Juan” di kalangan para planters.

Para “Kembang” dari Pasirmalang

Schenk membawa sekelompok wanita dari Pasirmalang, kawasan perkebunan teh di Pangalengan, Bandung Selatan. Mereka adalah para pemetik teh, perempuan pribumi yang sehari-harinya bergulat dengan kerasnya dunia perkebunan di bawah pengawasan mandor Belanda.

Dengan sentuhan make-up, pakaian khusus, dan perintah diam yang tak bisa dibantah, para perempuan ini dijadikan escort bagi para tamu kongres. Peran mereka tak sebatas menemani makan malam atau menari dalam pesta. Ada “tugas-tugas” lain yang diselipkan di balik senyum dan kecantikan mereka—tugas yang melayani syahwat, bukan hanya keramahan.

Cerita ini, meski getir, membentuk sudut pandang baru terhadap julukan “Bandung Kota Kembang”. Kata “kembang” di sini tidak hanya merujuk pada bunga yang tumbuh di tanah subur Priangan, tetapi juga pada para perempuan—”kembang desa”—yang menjadi bagian dari sejarah kota ini dengan cara yang ironis.

De Bloem der Indische Bergsteden

Sejak kongres itu, para pengusaha kebun dari berbagai daerah membawa pulang cerita tentang “keindahan Bandung”—bukan hanya alam dan udaranya, tetapi juga perempuan-perempuannya. Bandung pun dikenal dengan sebutan “De Bloem der Indische Bergsteden”—bunga dari kota pegunungan di Hindia Belanda.

Label ini terus melekat, dan di kemudian hari bermetamorfosis menjadi istilah populer: “Bandung Kota Kembang”.

Harum yang Menyimpan Luka

Sejarah memang tak pernah tunggal. Di balik keindahan sering tersembunyi luka, dan di balik harum bunga, ada jejak langkah yang mungkin tak pernah terdengar oleh banyak orang. Kisah para “kembang” dari Pasirmalang mengingatkan kita bahwa sejarah sebuah kota tak hanya ditulis oleh bangunan dan taman, tetapi juga oleh perempuan-perempuan yang menjadi bagian dari perjalanan panjangnya—meski dalam senyap.

Kini, ketika kita menyusuri Jalan Asia-Afrika atau menikmati bunga Patrakomala yang tertanam di taman kota, barangkali kita bisa merenung sejenak. Bahwa julukan “Kota Kembang” bukan hanya tentang bunga, tapi juga tentang perempuan dan sejarah yang tak selalu seindah taman yang kita lihat hari ini.