Jakarta, TINTAHIJAU.COM — Buku hasil kolaborasi liputan investigasi bertajuk “Kumpulan Karya Jurnalistik: Tangis dari Tepi Proyek Strategis Nasional” resmi diluncurkan di Swiss-Belinn Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.
Acara yang diselenggarakan pada Rabu (28/5) pukul 09.00–13.00 WIB ini mempertemukan para jurnalis, pegiat lingkungan, pembela hak asasi manusia, dan masyarakat sipil dalam sebuah forum diseminasi yang kritis dan reflektif.
Buku ini merupakan kompilasi liputan investigatif dari 14 jurnalis asal Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara.
Investigasi ini dilakukan secara kolaboratif oleh sejumlah media dengan dukungan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan Tempo Witness.
Hadir sebagai penanggap dalam peluncuran buku ini antara lain Yosep Suprayogi dari Tempo Witness, Erasmus Cahyadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Diky Anandya dari Auriga Nusantara. Diskusi dimoderatori oleh Musdalifah dari AJI Indonesia.
Potret Kritis Proyek Strategis Nasional
Laporan investigatif dalam buku ini mengungkap berbagai persoalan mendasar dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di tiga wilayah, mulai dari perampasan tanah, ancaman kriminalisasi terhadap warga, konflik kepentingan, hingga dugaan korupsi.
Di Maluku Utara, ditemukan fakta pengambilalihan paksa lahan milik warga demi kepentingan pertambangan.
Lahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat justru diambil alih dengan dukungan pemerintah kabupaten melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) Bupati, yang membayar tanah dengan harga rendah.
Warga yang menolak menjual lahannya diancam akan dikriminalisasi, sementara perusahaan tak kunjung menunjukkan legalitas konsesi mereka.
Kondisi serupa terjadi di Kalimantan Timur, khususnya dalam proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Di Desa Telemow, Kabupaten Penajam Paser Utara, masyarakat yang tinggal secara turun-temurun justru dianggap menempati lahan konsesi perusahaan.
Ironisnya, perusahaan tersebut disebut memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Prabowo Subianto.
“Rakyat dikriminalisasi dengan tuduhan menyerobot tanah,” ungkap salah satu narasumber dalam liputan.
Sementara itu, di Jawa Barat, fokus liputan tertuju pada proyek energi panas bumi.
Bayu, salah satu jurnalis, menyebut adanya selisih ratusan miliar rupiah dalam Dana Bagi Hasil (DBH) antara data yang dicatat perusahaan dan pemerintah daerah.
“Sayangnya, dugaan korupsi ini hanya dianggap sebagai kesalahan pencatatan oleh pemerintah daerah,” ujar Bayu.
Pembela Lingkungan Kian Terancam
Menurut Diky Anandya dari Auriga Nusantara, pembela lingkungan menjadi kelompok paling rentan dalam konflik-konflik PSN.
Mereka kerap distigma sebagai “penghambat pembangunan”, dan ancaman terhadap mereka meningkat sejak 2017.
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa sepanjang 2020–2023, terdapat 115 konflik agraria yang dipicu oleh proyek PSN.
Kebijakan PSN dinilai mengabaikan hak masyarakat, menghilangkan partisipasi publik, dan melanggengkan praktik kekerasan.
Pemerintah juga dinilai abai terhadap akar persoalan iklim investasi di Indonesia, seperti kepastian hukum dan pemberantasan korupsi.
Pelanggaran HAM dan Diskriminasi Hukum
Erasmus Cahyadi dari AMAN menyoroti dampak PSN terhadap masyarakat adat. Banyak proyek PSN menyebabkan hilangnya sumber pangan dan pekerjaan tradisional seperti hutan sagu, penyadapan karet, dan kemenyan.
Menurutnya, hal ini melanggar Konvensi ILO No.111 dan berbagai instrumen hak asasi manusia lainnya, termasuk UU No.39 tentang HAM.
Ia juga mengkritik adanya diskriminasi hukum: “Jika perusahaan melanggar aturan, tidak ada tindakan tegas. Tapi ketika masyarakat yang dituduh, aparat langsung bergerak,” ungkapnya.
Perlunya Kolaborasi Jangka Panjang
Yosep Suprayogi dari Tempo Witness mengapresiasi peliputan dalam buku ini, namun menekankan pentingnya pelacakan data yang lebih komprehensif, termasuk penggunaan dana dari DBH.
Acara ini ditutup dengan penekanan pentingnya membangun kolaborasi lintas sektor — antara komunitas terdampak, organisasi masyarakat sipil, lembaga bantuan hukum, hingga media.
Kolaborasi dianggap sebagai kunci menghadapi tantangan pembangunan yang tidak berpihak pada keadilan sosial dan lingkungan.
“Buku ini bukan sekadar kumpulan liputan. Ia adalah pengingat bahwa pembangunan sejati adalah tentang keadilan dan kemanusiaan, bukan sekadar beton dan angka,” ujar salah satu peserta acara.