BANDUNG, TINTAHIJAU.com — Di balik kabut tipis Lembang yang kerap menggelayut pada pagi hari, ada seorang lelaki yang setiap langkahnya beraroma hutan dan setiap tetes keringatnya menyimpan rasa manis: Koswara, penjaga rahasia madu Maribaya.
Sejak 2012, ia menyelami dunia yang dipenuhi dengung halus, sayap-sayap rapuh, dan emas cair yang lahir dari kerja tanpa lelah ribuan lebah. Di rumah penangkarannya di Jalan Maribaya, ia merawat empat jenis lebah—Cerana, Mellifera, Trigona, dan sang pengelana liar, Dorsata.
Namun, kisah ini bukan sekadar tentang lebah yang berumah di kotak kayu. Ia adalah perjalanan panjang, mendayu-dayu, menuju jantung hutan Cupunagara, Cisalak, Subang—tempat madu paling murni menggantung dalam gelap yang lembap.
Untuk sampai ke sana, Koswara mengendarai sepeda motor selama satu setengah jam, meniti jalan licin dan berliku yang seolah mencium tepi jurang. Lalu ketika roda tak lagi dapat melangkah, dua kakinya mengambil peran—menyibak semak, menaklukkan tebing, dan menghadap alam dengan hormat yang sunyi.
Di dalam rimba, ia membawa tepus—batang tipis serupa lidi, dibalut daun pakis—senjata tradisi yang tak pernah gagal. Ketika dibakar, asapnya mengepul lembut, menjadi bahasa damai yang dipahami lebah-lebah Dorsata. Asap itu tidak mengusir mereka—ia hanya menenangkan, memberi jeda, agar Koswara bisa mengambil madu tanpa merusak kehidupan. Bahkan sarang pun tak ia habiskan; selalu tersisa sebagian, sebagai janji bahwa lebah akan kembali.
Koloni yang dibawa pulang dari hutan ditangkarkan dengan penuh cinta. Dari tangan Koswara, setiap tahun lahir empat kali musim panen—sekitar dua kuintal madu sekali panen. Februari hingga Agustus adalah bulan-bulan ketika matahari paling ramah bagi para penghasil madu. Dari satu sangkar yang dihuni sepuluh ribu lebah, mengalir 2–3 kilogram madu, dijual dengan harga Rp150 ribu hingga Rp500 ribu per kilogramnya. Namun, harga hanyalah angka; sesungguhnya, yang dijual adalah waktu, kesabaran, dan perjalanan panjang yang tak selalu tampak.




Manisnya madu Maribaya bukan hanya tentang rasa. Ia adalah cerminan dari keanekaragaman hayati dalam radius 700 meter persegi—bunga-bunga liar, semak berbunga, pepohonan yang tak pernah lelah mekar dan gugur. Semua menari bersama dalam satu ekosistem yang rapuh namun menawan, memberikan propolis, bee pollen, dan madu yang kualitasnya ditentukan oleh harmoni alam.
Tetapi harmoni itu memiliki musuh: para pemburu liar. Mereka datang serampangan, kadang membakar sarang hanya demi mendapatkan madu. Tindakan yang menghapus ratusan kehidupan kecil dalam sekejap—dan menghancurkan siklus alam yang telah lama terjaga.
Dalam dunia fotografi, kisah Koswara adalah bingkai yang menunggu untuk ditangkap: seorang lelaki dengan tepus berasap di tangan, siluetnya berdiri di antara rimbun hutan Cupunagara. Atau wajahnya yang letih namun damai ketika membawa pulang koloni baru. Atau tetes madu yang jatuh perlahan, menyimpan cahaya pagi di dalamnya.
Manis madu Maribaya bukan hanya soal rasa di lidah—ia adalah cerita tentang kesetiaan pada alam, tentang perjalanan sunyi yang berakhir dengan sebotol emas cair, dan tentang seorang penjaga kecil yang percaya bahwa kerja sama antara manusia dan lebah adalah bentuk cinta yang paling sederhana.
Penulis: Kin Sanubary | Editor: Oki Rosgani | Courtesy Photo by Djuli Pamungkas











